from: bing image creator |
Nek jare D'massive "Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugerah."
from: bing image creator |
Nek jare D'massive "Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugerah."
Perkenalan dengan dunia tulis menulis bermula ketika masih Sekolah Menengah Pertama, dengan mengirimkan sebuah puisi untuk ditempelkan di Majalah Dinding Perpustakaan Sekolah. Puisi berjudul "Dapur Penuh Racun" berisi sebuah sindiran untuk para anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Tapi saya sudah lupa bagaimana detail kata-katanya. Maklum saja, karena pada waktu itu saya masih belum punya pikiran untuk mendokumentasikan hasil tulisan tersebut.
Itu adalah puisi yang saya tulis pertama kali, setelah itu saya tidak ingat apakah menulis puisi lagi apa tidak. Tapi kalau soal berinteraksi dengan buku, saya masih terkoneksi karena pada waktu itu selain menjadi anggota perpusatakaan sekolah, saya juga menjadi anggota Perpustakaan Keliling Kabupaten Rembang yang tiap hari Selasa dan Kamis mampir ke Desa kami, tepatnya di halaman Kantor Kecamatan.
Bersama teman-teman sekampung saya sering meminjam buku-buku kumpulan cerita pendek atau novel. Yang masih saya ingat adalah saya pernah dimarahi Bapak karena meminjam buku karya Achdiat Karta Mihardja yang berjudul "Atheis" dan buku berjudul "Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma" karya Idrus. Kata Bapak,"Untuk apa kamu baca buku itu? Bisa keblinger kamu."
Seumuran segitu saya tidak punya pembelaan apapun, kecuali menuruti perintah Bapak untuk mengembalikan buku pada kunjungan mobil Perpustakaan Keliling hari berikutnya. Di kemudian hari, saya tetap secara sembunyi-sembunyi meminjam buku bacaan dari Perpustakaan.
Sewaktu menginjak Sekolah Menengah Atas saya mengenal puisi Emha Ainun dari sobekan kertas milik seorang teman sekampung yang juga hobi menulis dan membaca. Tapi praktis pada waktu saya SMA saya tidak pernah lagi menulis, tapi kalau soal kesenangan membaca masih terus berlanjut bahkan sampai sekarang.
Gairah menulis saya kembali muncul sewaktu saya kuliah di Stipfarming Semarang, jurusan Farming (Pertanian), di mana pada saat itu saya ikut berkegiatan di Lembaga Pers Kampus. Saya menulis di majalah dinding kampus berupa puisi maupun karikatur berisi kritikan kepada pihak kampus.
Tulisan-tulisan saya mungkin banyak terpengaruh dari buku-buku yang saya baca. Karena selain rutinitas kuliah, saya juga mempunyai jadwal kunjungan rutin ke toko buku di pusat kota Semarang juga Perpustakaan Daerah. Dari mulai Chairil Anwar, Sutardji Chalzoum Bachri, Joko Pinurbo sampai R Tagore dan penyair dari Libanon Kahlil Gibran.
Hampir setiap hari saya menulis puisi, dalam hal apapun. Meski yang terbanyak adalah puisi tentang asmara, ya, asmara yang tak kesampaian. Seperti kisah kebanyakan, orang yang lagi jatuh cinta secara tiba-tiba akan menjadi sosok yang puitis sehingga mampu menghasilkan bait-bait yang melankolis.
Semua tulisan itu hanya saya simpan sendiri, tidak pernah saya publikasikan atau pamerkan kepada orang lain. Saya baru mulai memperkenalkan puisi-puisi saya setelah ada internet.
Melalui internet saya mulai menjelajah lebih luas lagi. Menulis puisi di status-status Friendster, kemudian ikut menjadi anggota komunitas menulis online seperti Komunitas Bunga Matahari, ikut mengirim puisi ke portal puisi semacam Fordisastra, Cybersastra, dll.
Tahun 2006 saya pindah ke Jepara untuk bekerja. Perpindahan ini membuat cakrawala perkenalan saya menjadi bertambah, saya menjadi kenal dengan para pegiat sastra di Jepara seperti Ramatyan Sarjono, Aminan Basyarie, Asyari Muhammad, Winahyu Winastuti, Alie Emje, dan beberapa nama lain. Saya juga ikut diajak terlibat dalam beberapa komunitas sastra dan budaya, seperti Samudra (Sastra Muda Jepara), selain saya masih mengelola grup Aliansi Penyair Timur di sebuah platform media sosial bersama beberapa teman pegiat sastra dari berbagai kota.
Secara onlen maupun oflen masih sering menjalin komunikasi dengan teman-teman di Rembang, melalui ajang pentas kesenian yang digelar setiap sebulan sekali mengambil tempat di bekas Stasiun Kota Rembang dalam kegiatan yang diberi nama Kethek Ogleng Baca Puisi.
Kegiatan-kegiatan tersebut terus menambah dan menumbuhkan kecintaan juga memperluas dan memperkaya wawasan, ide dan hal-hal dalam lingkup kesenian, sastra dan budaya.
Selain itu saya mulai banyak terlibat dalam berbagai antologi puisi bersama beberapa teman penyair dari luar daerah. Bersama Sosiawan Leak melalui antologi Puisi Menolak Korupsi, bersama Samudra dengan menerbitkan antologi puisi Bintang Kata, bersama Didid Endro ikut terlibat dalam antologi puisi Membaca Jepara.
Bagaimana dan Mengapa.
Bagaimana bisa menjadi sebuah puisi? Adalah momen yang saya temukan, entah ketika sedang melakukan perjalanan, sedang membaca buku, atau sedang menonton film. Begitu ada momen yang merangsang imaji saya, seketika langsung berhenti dari aktivitas yang saya lakukan pada saat itu.
Pernah suatu ketika dalam perjalanan pulang dari rumah orang tua di Rembang menuju ke tempat domisili saya di Jepara, ketika sampai di daerah Pati sewaktu melewati hamparan lahan pertanian yang membuat saya spontan menyalakan aplikasi perekam suara di telepon genggam, lalu saya rekam kata-kata yang tercipta pada saat momen itu.
KEPADA HUTAN DAN GUNUNG, DI TEMPAT AKU KECIL DULU
(2011)
Di waktu yang lain, ketika saya sedang membaca buku entah itu prosa atau puisi, ada momen ketika apa yang saya baca itu membuat saya merasa ada semacam pemantik kepada diri saya untuk segera membuat tulisan. Segera saja saya hentikan kegiatan membaca tersebut, kemudian saya ambil pulpen dan kertas lalu asyik menulis meninggalkan buku terbuka yang baru separuh baca.
SELALU KUCARICARI NAMAMU
(2011)
Oh ya, saya juga suka mengunjungi pameran lukisan yang digelar di galeri-galeri ataupun hanya diadakan di sebuah acara pameran yang biasanya dihelat oleh Pemerintah Daerah. Ketika saya melihat lukisan yang dipamerkan, dan jika kebetulan ada lukisan yang membuat saya tertarik bisa dengan seketika akan muncul deretan kata-kata berupa bait-bait yang harus saya rekam sebelum menghilang. Untuk itulah handphone tidak pernah lupa saya bawa, sebagai alat untuk menulis dan mencatat apa yang ada di kepala saya.
Namun ada kalanya saya juga tidak memiliki gairah sama sekali untuk menulis, walaupun sudah dipaksa untuk menulis sebaris dua baris puisi, kemudian terpaksa saya hapus lagi karena saya tidak menemukan apa yang ingin saya sampaikan melalui tulisan tadi.
Menulis Agar Tidak Lupa, adalah semacam pembelaan diri ketika harus menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang ketertarikan saya pada aktivitas menulis. Entah darimana saya mendapatkan kalimat tersebut pertama kali, sudah lupa.
Catat-Mencatat-Catatan, hampir setiap waktu saya berkutat dengan tiga hal tersebut. Setiap kali melakukan perjalanan atau bahkan pada saat berdiam diri, selalu saja ada yang mendesak-meminta untuk dituangkan dalam tulisan, entah nanti akan berakhir menjadi puisi atau bahkan tetap menjadi sebuah catatan yang tak berbentuk apa-apa.
Seorang teman pernah menjuluki saya sebagai ”lelaki yang tak henti menandai”, saya tidak menyangkalnya. Sebab sedikit banyak hal itu memang demikian adanya. Saya suka mengabadikan segala sesuatu yang menarik perhatian saya, baik melalui kamera maupun tulisan sebagai proses mencatat dan menandai yang sampai saat ini masih terus saya lakukan.
Secara formal saya tidak pernah belajar sastra maupun masalah penulisan, saya belajar dari apa yang saya baca juga dengan orang-orang dimana saya berinteraksi dengannya. Hal ini membuat saya tidak terlalu terpaku pada kaidah-kaidah penulisan, sehingga saya tidak begitu memusingkan akan menjadi apa dan bagaimana bentuk hasil tulisan saya.
Pernah, saya berinteraksi dengan sastrawan senior Abdul Kohar Ibrahim melalui aplikasi perpesanan di facebook tentang plagiasi dan keterpengaruhan dari penyair-penyair yang sudah lebih dulu ada. Melalui media telepon juga pernah diskusi kecil mengenai proses kreatif di dunia sastra, bahkan saya pernah sampai dikatakan sebagai “orang bebal dan bodoh” oleh salah seorang penyair senior karena sewaktu ditanya 'Apakah kamu seorang Penyair?' saya jawab "50%".
Tapi itu tidak membuat saya menciut dan berhenti menulis. Saya tetap saja menulis. Tak peduli apapun hasil dari tanda yang berupa jejak tersebut. "Baik buruknya terserah mereka saja. Siapapun berhak menilai tapi aku juga bebas menentukan bahasa", jawab saya ketika seorang teman bertanya kenapa saya masih saja menulis dan mencatat.
CELOTEH SI GILA
jamur telah lama mengotori dinding, membuat gambar serupa lukisan kisah manusia. orangorang yang terlahir tanpa sengaja, terusir dari tempat yang seharusnya. masih saja pembicaraan di koran dan televisi, didominasi persoalan kasta dan etika. apakah kita datang dengan berkat di tangan? entah, terima saja nasib buruk yang segera akan datang.
tuhan, tuhan, tuhan, kenapa kau tinggalkan aku? selalu aku bertanya kepada orangorang suci, apakah ada tempat di surga buatku kelak, saat telah kukorbankan kemaluanku untuk melahirkan anakanak, yang setelah dewasa nanti mereka akan saling menikam mati. baratayudha. tak ada perdamaian abadi, sebagaimana pula tak ada teman yang abadi. hanya derita kekal selamanya.
jangan percaya padaku. aku hanya orang gila yang meneropong dunia. jika mencari aku, tanyakan pada hatimu, adakah diriku di situ. ah, mulai ngawur bicaraku. lantas kenapa kau masih saja menyimak ucapanku? pergilah, dan abaikan aku. o dunia yang malang. maaf aku telah meninggalkanmu sekarat sendirian.
perjalanan yang harus di tempuh, dalam berbagai ukuran, panjang atau singkat. bagaimana dengan akhirnya kelak? apakah mesti juga kita yang pikirkan? o hidup o jiwa o pencipta. tugasku hanya menjalani. apapun nanti yang akan terjadi, terjadilah. sudah.
(2010)
Seperti judul puisi di atas, mungkin saya hanyalah si gila yang suka ngomong apa saja, suka seenaknya sendiri dalam memaknai dan mencatat hal-hal yang saya lewati dalam perjalanan hidup menuju keabadian. Entah itu hal-hal besar atau bahkan hal-hal remeh yang mungkin tidak ada artinya bagi orang lain, tapi begitu berarti bagi diri saya. Terutama dalam hal pembentukan diri dan penerimaan terhadap segala apa yang terjadi di perjalanan kehidupan saya.
*) Tulisan ini dimuat dalam buku "Menanam Kata Menuai Asa: Esai Proses Kreatif", Balai Bahasa Jawa Tengah, 2020.
by aiusage |
Soal makan memakan saya punya cerita sewaktu masih kecil. Dulu saya susah sekali kalau disuruh untuk makan. Harus dipaksa berulang kali sampai mau makan dan menghabiskannya, walau dengan terpaksa. Kadang dengan ancaman, "kalo makannya gak habis, ayamnya mati lho!".
Jika pada waktu makan itu tidak ditunggui Bapak atau Ibu, biasanya langsung saja saya buang nasinya. Kalau tidak ke kolong meja atau dipan, ya saya buang ke luar jendela. Jangan tanya kalau ketahuan, sudah pasti akan dimarahi dan diomeli oleh Bapak dan Ibu.
Karena Ibu juga harus bekerja, jadi menu sarapan pagi yang paling mudah adalah nasi ditambah telur mata sapi ples kecap. Kadang juga tempe goreng, atau telur dadar. Yang pasti jenisnya 'garingan'.
Pada saat kuliah, saya tinggal bersama Kakek dan Nenek di Semarang. Di sini saya bertemu dengan telur lagi, tapi kali ini telur dadar. Hampir tiap hari lauknya telur dadar dan sambal, kadang diselingi tahu goreng atau tempe goreng. Dan hampir bisa dipastikan juga semi-semi 'garingan'.
Ketika sudah lulus kuliah dan mulai bekerja, saya numpang di rumah Pakdhe, kakak dari Bapak. Namanya numpang ya harus menerima saja apa yang ada, termasuk soal makan. Mungkin sudah takdir saya harus bersua dengan telur dan berbagai variannya.
Di rumah Pakdhe, saya juga hampir tiap hari ketemu dengan telur di pagi hari, ditambah sambal tanpa diuleg alias lomboknya diblender. Praktis memang, tapi rasanya hambar beda dengan sambal hasil ulegan tangan. Entah, itu mungkin hanya perasaan saya saja.
***
Kalau waktu kecil saya sering malas dan susah kalau disuruh makan, tapi setelah besar saya malah seperti penampungan. Kalau ada makanan yang masih sisa adalah bagian saya untuk menampung dan mengolahnya sampai habis tidak tersisa.
Misal Ibu lagi masak nasi goreng, Ibu akan menyediakan beberapa piring untuk diisi dengan nasi goreng untuk jatah Bapak, adik dan keluarga yang lain. Mana jatah saya? Sisa masakan yang masih ada di penggorengan!
:)
Di depan rumah Mbah Kakung di Ungaran dulu ada beberapa pohon kopi, yang tiap kali liburan ke sana aku seringkali nangkring di atas pohon tersebut bermain bersama anak tetangga yang seumuran sambil sesekali nglethusi buah kopi yang sudah masak berwarna merah, nyesep manis getahnya.
Setelah pohon kopi ditebang, diganti dengan pohon rambutan. Soal pohon rambutan ini, ada ceritanya.
Suatu hari, Bulik mau balik ke Brebes, oleh mbah rencananya akan dibawain rambutan. Aku yang kebagian ngunduh bareng Om. Kebetulan hari itu habis hujan jadi agak licin pohonnya.
Sewaktu memanjat, karena licin maka tangganya tergelincir. Dan akibatnya aku terjatuh, temangsang di dahan pohon. Tangan luka terkena asbes yang disandarkan di dekat pohon.
Dua hari setelah jatuh dari pohon rambutan badanku terasa demam dan pusing. Kukira itu hanya karena kaget sebab terjatuh dari pohon. Tapi sudah diminumi obat pereda demam dan pusing dari toko masih tidak mempan. Masih terasa demam dan pusing, malah makin hebat.
Karena merasa tidak betah menahan demam dan pusing di kepala yang makin menjadi, aku minta diantar sama Om untuk periksa dokter. Setelah diperiksa dokter keluarlah diagnosanya: antara typus atau demam berdarah. Awalnya langsung disuruh untuk nginep di Rumah Sakit. Tapi aku gak mau.
Aku bilang sama Mbah Yayi, "Aku mau diopname kalo malamnya nanti aku muntah darah."
Tapi karena gak betah menahan sakit, walau gak muntah darah, pagi-pagi aku diantar Om dan Bulik ke Rumah Sakit, RSU Ungaran. Hingga sampailah di UGD, kemudian diinfus dan langsung terasa ringan ini kepala.
Sewaktu mondok di Rumah Sakit, sempat empat kali pindah ruangan. Pertama di UGD, kemudian di ruangan yang menampung kurang lebih 12 orang pasien, lalu kamar untuk 2 orang pasien, dan yang terakhir baru di kamar untuk 1 orang pasien di kamar Rajawali (kalau gak salah).
***
Cerita dari Kamar
Di sebuah ruangan yang berisi lebih dari 10 orang pasien.
Bulik: "Piye, arep madhang apa?"
Aku: "Mi goreng wae."
Bulik: "Ok, tunggu dhelok."
Setelah beberapa menit,
Bulik: "Nyoh."
Aku: "Ok, maturnuwun. Eh, tulung tumbaske pisang."
Bulik: "Enak men kongkon. :)"
Aku: "Lha kapan neh ngakon Bulik-bulik nek ra pas ko ngene. Hehehe."
Bulik: "O cah edan!!"
Setelah pindah ke ruangan yang berisi 2 orang pasien.
Padma: "Mas, kowe mesti isin to, opname ning kene."
Aku: "He'e."
Padma: "Soale kowe kan sering ngece nek ana wong lara. Jaremu, 'wes gedhe kok lara!?'"
Aku: "Hehehehe."
***
Pamflet Acara |
Kedatangan Hari Raya Idul Adha yang tiba pada hari Kamis tanggal 29 Juni 2023, disambut oleh masyarakat di Desa Bandungrejo Kec. Kalinyamatan Kab. Jepara dengan diadakannya sebuah acara yang dinamakan Festival Oncor Kalinyamatan, sebuah acara yang rutin dilaksanakan setiap malam takbiran menjelang datangnya Idul Adha. Festival Oncor Kalinyamatan 2023 diselenggarakan oleh Pemerintah Desa Bandungrejo dengan IPNU-IPPNU Bandungrejo selaku panitia penyelenggara acaranya.
Untuk Festival Oncor Tahun 2023 yang mengambil tema "Melestarikan Budaya Lokal yang Bernuansa Islami" ini diikuti oleh kurang lebih sebanyak 500 orang dari 17 Dukuh yang ada di Bandungrejo, yang semuanya dilakukan secara swadaya dan swadana serta bentuk kegotong royongan warga. Berbagai kreasi bermunculan, mengingat dalam acara ini juga dilakukan penilaian oleh Juri untuk dipilih siapa nanti yang menjadi pemenangnya.
Acara dikemas dalam bentuk karnaval yang diikuti oleh seluruh peserta dengan berbagai atraksi maupun kostum yang ditampilkan. Mayoritas peserta menampilkan replika mushola atau masjid sesuai yang ada di Dukuh masing-masing, replika hewan-hewan yang umum dijadikan sebagai kurban (kerbau, sapi, kambing maupun onta), dan juga ada yang menyelipkan pesan moral dalam barisannya. Misal, ada yang menyampaikan pesan tentang bahayanya judi slot, atau teatrikal tentang azab orang yang suka berbuat jahat kepada tetangganya, dan masih banyak lainnya.
Teatrikal dari Dukuh Gintungan |
Festival Oncor dimaksudkan sebagai salah satu sarana untuk syiar Islam ke seluruh lapisan masyarakat warga Bandungrejo maupun masyarakat umum dari luar Bandungrejo yang hadir menyaksikan festival tersebut, karena tidak bisa dipungkiri bahwa Festival Oncor ini sudah menjadi salah satu atraksi budaya bermuatan kearifan lokal bernafaskan Islam yang juga menjadi tujuan wisata atau hiburan bagi khalayak luas.
Selain hadirnya ribuan orang dari berbagai lapisan masyarakat maupun domisili, imbas dari adanya Festival Oncor ini adalah geliat ekonomi yang turut terangkat dengan banyaknya pedagang makanan maupun minuman serta area permainan untuk anak-anak di sepanjang rute yang dilalui arak-arakan karnaval peserta Festival Oncor.
Secara umum acara terselenggara dengan baik dan lancar, tapi sebagaimana banyak gelaran acara yang melibatkan massa yang begitu besar adalah adanya banyak sampah bekas makanan maupun minuman ketika acara sudah selesai. Itu menjadi PR bagi kita semua, tentang betapa pentingnya membuang sampah pada tempatnya.
alur penerimaan siswa baru (ppdb.jepara.go.id) |
Setelah sebelumnya hanya mendengar cerita dari teman-teman tentang betapa ribetnya pendaftaran sekolah, dari mulai mendaftar secara onlen, membuat dan mengaktifkan, menguplod dokumen, sampai harus memantengi website secara berkala untuk mengetahui berada di posisi berapa anak yang didaftarkan, berada di posisi aman atau rawan tergeser, sehingga harus memutuskan untuk bertahan atau mencabut berkas dan mencari alternatif sekolah lain.
"Daftar sekolah sekarang susah. Harus menthelengi website terus untuk mengetahui posisinya aman apa tidak.", kata salah seorang teman.
Dan akhirnya, pada tahun pelajaran kali ini saya mengalami rasanya melakukan pendaftaran sekolah untuk anak saya yang menginjak ke level SMP. Pilihan kali ini adalah di sebuah SMP Negeri yang dulu kakek-neneknya juga ibunya pernah menerima pembelajaran di situ.
Sebelum tiba waktunya, saya mencari informasi terlebih dahulu dari teman-teman baik yang pernah melakukan pendaftaran maupun teman-teman yang merupakan tenaga pendidik atau bekerja di sekolahan, saya gali informasi sedalam-dalamnya agar saya tidak panik, gugup dan sejenisnya.
***
Pendaftaran sekolah kali ini menggunakan 4 (empat) jalur pendaftaran, yaitu zonasi, afirmasi, perpindahan tugas orang tua dan prestasi, dengan masing-masing dari tiap jalur pendaftaran itu ada kriteria dan jumlah kuota yang sudah ditentukan oleh Dinas Pendidikan.
Sebelumnya saya berpikir untuk menggunakan jalur zonasi, karena dari pengetahuan saya yang awam saya menyadari bahwa anak saya tidak memiliki prestasi seperti yang saya bayangkan atau diinfokan dari orang-orang sekitar bahwa ketika memilih jalur prestasi harus memiliki prestasi dan mendapat predikat juara dari lomba-lomba yang pernah diikuti. Ternyata setelah saya korek info dari teman yang bekerja di salah satu sekolah, walaupun tidak memiliki prestasi dari lomba-lomba, jalur prestasi itu bisa ditempuh dengan menggunakan nilai ujian/ ijazah. Akhirnya saya putuskan untuk melakukan pendaftaran dengan menggunakan jalur prestasi.
"Saya berikan gambarannya supaya jelas. Ketika memilih jalur zonasi, misal pilihan 1 di SMP A pilihan 2 di SMP B. Berdasarkan hasil analisis dari sistem, jika tidak diterima di SMP A maka otomatis akan masuk ke SMP B. Makanya jika yang dituju adalah SMP A, mending gunakan jalur prestasi saja.", begitu kurang lebih penjelasan salah seorang teman.
Beberapa hari saya ikut memantau website pendaftaran sekolah untuk melihat ada di posisi berapa anak saya, sambil menganalisis kecil-kecilan jalannya sistem. Dan apa yang disampaikan oleh teman saya tadi ada benarnya, ketika ada nilai lebih tinggi yang daftar maka posisi terakhir atau nilai terendah akan langsung secara otomatis berpindah ke laman dari sekolahan pilihan ke 2 yang dituju.
Untuk memantau website pun sebenarnya tidak harus melulu memantengi daftar peringkat, cukup dengan melihat daftar nilai terendah yang ada di list peringkat pendaftaran sekolah tersebut sebenarnya sudah cukup untuk mengetahui posisi aman atau tidaknya peringkat anak saya.
"Kak, anakku sudah tidak ada di daftar peringkat. Bagaimana ini?", kata seorang teman yang mendaftar menggunakan jalur prestasi, tapi nama anaknya tidak lagi ada di daftar calon siswa yang berpotensi diterima baik di sekolah pilihan ke 1 maupun ke 2.
Kebetulan teman saya ini rumahnya berada di posisi tengah-tengah dengan jarak yang relatif cukup jauh dari semua sekolah negeri yang ada, kemudian prestasi anaknya juga berada di tengah-tengah (tidak terbaik, tidak terburuk), dengan kondisi ekonomi yang tengah-tengah juga.
Saya hanya menghela nafas, sambil menjawab sedikit,"Ya, terpaksa mungkin harus ke sekolah swasta."
***
Tujuan dari Pemerintah dengan menggunakan 4 jalur pendaftaran sekolah tersebut (zonasi, afirmasi, perpindahan orang tua dan prestasi) adalah adanya pertimbangan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang bermutu dan berkeadilan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sehingga diharapkan masyarakat dapat memperoleh akses untuk memperoleh pendidikan secara mudah dan terjangkau. Tentunya ada pro dan kontra terkait penerapan mekanisme pendaftaran sekolah tersebut, yang tidak akan pernah habis bahkan sampai si anak nanti lulus dari sekolah.
***
Ketika ada suatu peristiwa hadi di depan mata, saya suka memposisikan diri untuk berada di kejauhan. Lalu saya akan mengamati, memperhatikan, terkadang juga mengomentari dan menebak. Mengomentari apa yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan, menebak apa yang seharusnya terjadi atau tidak terjadi. Lalu akan menyimpannya di bagian memori saya, yang mungkin suatu saat akan bermanfaat untuk saya panggil kembali ingatan itu.
Tidak semua orang senang berada di posisi yang saya sukai itu. Kebanyakan akan langsung berusaha untuk mendekat, menjadi dekat dan terlibat. Mungkin orang akan menganggap bahwa apa yang saya lakukan adalah sebuah bentuk ketidak pedulian saya, ketidak pekaan saya akan situasi di sekitar. Biarlah, hanya saya dan Tuhan yang tahu apa yang sebenarnya. Dan saya merasa tidak perlu dan guna untuk mengoreksi apa yang orang lain pikirkan tentang saya.
Bahkan orang terdekat saya pun dengan jelas dan gamblang menyebut saya sebagai seorang "pengamat sosial yang anti sosial". Saya tidak membantah maupun tidak membenarkan.
by vectorstock |
Saya jarang sekali menonton televisi, apalagi acara-acara yang berkaitan dengan gosip selebriti atau bahkan soal berita-berita viral yang bersliweran. Saya tidak begitu tertarik. Mungkin itu yang kadang membuat saya membatasi diri dalam hal njagong atau cangkruk, karena takut tidak nyambung dengan apa yang dibicarakan. Tapi kalau ngobrol soal musik atau sepakbola masih sedikit-sedikit nyambung.
Bicara soal "anti sosial", saya jadi teringat dengan teman sekampung yang juga kebetulan satu angkatan dari SD sampai SMA, dia juga pernah menjuluki saya sebagai salah satu sosok yang "apatis".
Saya memang membatasi diri untuk tidak terlalu terlibat dengan hal-hal yang tidak saya kuasai dengan baik, saya tidak ingin melakukan blunder lalu menyebabkan gol bunuh diri yang akan membawa akibat yang fatal dan buruk terhadap saya juga orang lain.
bing images |
Mari kita simak kisah Kang Senthun yang sedang berorasi politik di pemilihan ketua RW secara langsung, berikut ini:
Suatu hari, sepulang kerja ketika perjalanan sampai di daerah Bok Ijo Tahunan tiba-tiba motor ngadat. Mesin mendadak mati. Dugaan pertama adalah karena oli habis, karena memang sudah waktunya ganti oli, tapi selalu tertunda terus.
Segera motor kutuntun ke pinggir jalan. Kemudian kucoba nyalakan motor pakai stater pencet, gak bisa nyala. Kemudian motor kustandarkan ganda, lalu coba untuk kuogleng, gak bisa, karena oglengan ngunci. Fix, kesimpulannya harus nyari bengkel.
Agak cemas dan ragu dapat bengkel, karena biasanya bengkel tutup sekitar jam 4 sore. Kemudian bertanya sama orang yang kebetulan ketemu di jalan, di mana ada bengkel terdekat.
Selain bertanya kepada orang lain, kucoba kontak saudara dan teman yang rumahnya dekat-dekat daerah situ. Alhamdulillah, saudara ada yang lagi santai lalu berkabar akan datang menghampiri.
Sambil menunggu kedatangannya, motor kutuntun pelan-pelan. Beberapa orang baik berhenti dan menanyakan kondisi motorku, lalu menawarkan bantuan apakah perlu didorong, kujawab "Terima kasih, ini sudah ada saudara yang mau datang ke sini. Sekali lagi terima kasih atas tawarannya."
Kemudian saudara datang, lalu mendorong motor ke bengkel yang masih buka. Sesampai di bengkel, motor dicek kondisinya dan diputuskan harus opname karena dicoba pertolongan pertama dengan mengisikan oli ke tangki masih saja motor tidak bisa nyala.
Ok, motor harus nginap di bengkel. Kemudian saudara meminjami motornya untuk kubawa pulang.
***
Terima kasih orang-orang baik senasib sepenanggungan di jalan.
Sejak dia lahir sebenarnya saya sudah berjuang untuk mengenalkannya dengan musik-musik macam Guns N Roses, Bon Jovi, Slank, Godbless atau paling tidak band-band seperti Sheila On 7 atau Gigi, dan band-band lainnya, ternyata dia malah lebih hapal sama lagunya Jimin (KPop).
Tapi sampai dia kelas 3, sepertinya usaha saya kurang berhasil. Apalagi di televisi tidak lagi ada acara yang memutar musik-musik semacam tadi. Akhirnya saya pengaruhi saja dia dengan musik yang lain yang juga saya sukai.
Didi Kempot! Ya, meski saya belum tahu nanti bagaimana akhir dari usaha saya mengenalkannya pada beragam jenis musik, tapi setidaknya dia sudah mulai ikut mendengarkan, melihat dan rengeng-rengeng lagunya Lord Didi, walaupun mungkin terpaksa karena remote tivi saya cekethem gak boleh lepas. 🤣
***
Suatu hari di toko pakaian olahraga, berbagai macam kaos, jaket sampai mug dan gantungan kunci bergambar logo tim sepak bola dipajang, tiba-tiba Magdala nyeletuk.
"Pah, Milan, Pah!"
Lalu emaknya nyahut,
"Kamu hapalnya AC Milan doang!"
Langsung kusambung,
"Emang bener ya mas, sepak bola itu ya (AC) Milan", kataku kepada mas penjaga toko
Mohon doanya, saat ini sampai dengan nanti, saya sedang berjuang untuk meyakinkan anak saya bahwa satu-satunya klub sepakbola yang patut untuk dicintai adalah AC Milan. Bermacam pernik berbau Milan sudah pernah dan akan terus saya perkenalkan padanya, walaupun kemarin sempat ada statement darinya ketika saya ajak memakai jersey Milan, "Bagiku, klub juara hanyalah Manchester City!". Tapi saya tak akan menyerah.
***
Soal musik setidaknya ada titik cerah, dia sudah mulai mendengarkan Denny Caknan, walaupun bersama si adik masih mendengarkan KPop juga, jika dibandingkan usaha saya membuat dia mencintai AC Milan yang bertepuk sebelah tangan, karena dia lebih gandrung Erling Haaland.
***
foto @Najih_HK |
Di kampung saya di suatu daerah di pantai Utara Jawa Tengah setiap 7 hari setelah hari raya Idul Fitri ada hari raya lagi, namanya lebaran ketupat atau bakda kupat atau kupatan.
Disebut kupatan karena pada hari itu hidangan yang disajikan di masing-masing rumah adalah ketupat (bukan nasi, seperti biasanya), dengan lauk berupa varian masakan dari ayam atau itik yang bisa berbentuk opor atau dibumbu yang selainnya.
Ini berbeda dengan hari raya di rumah nenek saya di Semarang, yang mana di sana ketupat muncul justru tepat di saat hari raya Idul Fitri.
Pada waktu kupatan, di mushola kampung diadakan kenduri atau selamatan dengan maksud sebagai ucapan syukur kepada rahmat Allah yang telah dilimpahkan kepada kita semua, juga sekaligus sebagai ajang untuk mengirimkan doa buat para leluhur yang telah mendahului.
Di acara selamatan itu pak ustad akan memberikan sedikit ceramah yang tentunya berkaitan atau berhubungan dengan kupatan.
Kata pak ustad, "Kenapa disuguhkan kupat lepet, artinya adalah pada waktu Idul Fitri kita (me)ngaKU lePAT ~mengakui kesalahan kita~ sehingga kita bermaaf-maafan, dan setelah bermaaf-maafan maka sebaiknya kesalahan yang sudah lalu itu disimpan yang rapat tidak usah diungkit lagi, istilahnya diLEP yang rapET."
"Kalaupun ada yang menyuguhkan Lonthong, bukan kupat, ya gak masalah, itu bisa diartikan bahwa setelah Idul Fitri sebaiknya yang "oLO-olo" (olo/ala artinya jelek/buruk) dadi "koTHONG" alias kosong.", sambung pak ustad.
"Lalu bagaimana jika tidak menyuguhkan kupat tapi Sego? Ya gak masalah juga, Sego bisa diartikan bahwa setelah Idul Fitri yang semula terasa ada ganjalan yang bikin seSEG bisa menjadi LeGO!", pungkas pak ustad disambut senyuman para jamaah.
Setelah ritual selesai, dilanjutkan dengan makan bersama di mushola. Ini bisa jadi berbeda di masing-masing daerah, seperti misal di kampung saya yang dulu tidak ada acara makan bersama di mushola tapi berkatnya dibawa pulang.
Bagaimana di tempat kalian?
***
Dulu sewaktu saya masih sekolah di sekitaran pertengahan era 90an, pada waktu kupatan setelah acara di mushola selesai biasanya saya dan teman-teman kongkow bareng-bareng di perempatan, di mana tempat tersebut menjadi pemberhentian kendaraan angkutan umum yang banyak mengangkut orang-orang yang akan merayakan kupatan dengan pergi ke pantai untuk lomban.
Biasanya di waktu kupatan ada keramaian besar-besaran berupa hiburan di pantai, ada dangdutnya ada dermolennya ada jualan macam-macam barang dan jajanan.
Tujuan saya dan teman-teman kongkow di perempatan bukan bermaksud untuk ikut pergi ke pantai, tapi kami hanya ingin melihat orang-orang yang pergi ke pantai itu.
Di waktu itu kami bisa melihat berbagai macam gaya berpakaian dan dandanan, maupun berbagai macam lagak dan gaya bicara. Karena kebanyakan orang-orang itu adalah para perantau yang baru mudik dari tempat mereka bekerja, sehingga kami bisa mendengar celotehan campur baur antara mereka yang merantau di Surabaya dengan dialek Jawa Timuran berpadu dengan yang baru mudik dari Jakarta. Antara "Yok opo" dengan "Ngapain".
Bisa dibayangkan, kan?
***
Kemarin saya menerima ajakan untuk berbagi pengetahuan tentang proses perizinan berusaha kepada sekitar 25an ibu-ibu rumah tangga yang merupakan kader Keluarga Berencana dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP2AKB). Di acara tersebut saya mengajak dua orang teman yang masih cukup muda, generasi milenial-lah, sementara saya sih termasuk generasi post-kelonial, :).
Pada saat acara dimulai, setelah menyanyikan lagu Indonesia Raya dilanjutkan dengan menyanyikan lagu Mars Keluarga Berencana.
Melihat saya bisa fasih ikut menyanyikan lagu Mars Keluarga Berencana, dua orang teman saya itu nampak terkejut. Saya bisa melihat raut keterkejutan di wajah mereka itu dari tempat saya berdiri, yang kebetulan posisinya berhadapan dengan mereka.
Begitu selesai menyanyikan lagu tersebut, saya kirim pesan melalui wasap ke salah satu dari mereka, "Kamu pasti terkejut, melihat saya bisa menyanyikan lagu Mars Keluarga Berencana, ya?"
Langsung dijawab, "Ya, paling njenengan sudah pernah ikut acara ini sebelumnya, jadi tahu lagunya."
Kemudian saya lanjut menjelaskan singkat,"Lagu tersebut itu begitu sering saya dengar sewaktu saya kecil, lewat siaran radio atau mobil penyuluhan Keluarga Berencana".
Singkat cerita, kegiatan di Dinas P2AKB tersebut berjalan lancar dan ternyata para ibu rumah tangga yang menjadi binaan dari Dinas, baik secara sendiri maupun kelompok mempunyai kegiatan usaha yang bisa membantu peningkatan ekonomi keluarga mereka. Salut.
------------
Tentang lagu Mars Keluarga Berencana ini, saya tidak ingat kapan pertama kali mendengarkannya. Tapi seingat saya sejak saya kecil, saya sudah sering mendengar lagu tersebut, baik melalui siaran radio maupun diperdengarkan oleh para penyuluh Keluarga Berencana di sela-sela acara pemutaran film dengan menggunakan layar tancap atau mobil penyuluhan Keluarga Berencana yang keliling dari desa ke desa.
Berdasarkan informasi yang tampil di laman wikipedia, Lagu Keluarga Berencana atau dikenal juga dengan Mars Keluarga Berencana diciptakan oleh Mochtar Embut untuk mensukseskan gerakan KB yang dimulai pada tahun 1970-an. Kala itu pemerintah Indonesia meminta Mochtar Embut, seorang komposer untuk menciptakan lagu yang mudah dikenal dan dihafalkan masyarakat serta enak disenandungkan. Bahkan setelah selesai lagu inipun dijadikan lagu wajib anak-anak sekolah mulai SD.
Di bawah ini adalah lirik lagu Mars Keluarga Berencana, ada yang mau ikut bernyanyi bareng saya? Mari..
Saya kadang merasa heran dengan seorang anak yang memilih bekerja di tempat yang sama dengan bapak atau ibunya. Bukan karena apa-apa, ya. Tapi yang menjadi ganjalan buat saya adalah apakah tidak ada rasa kagok atau canggung, harus bekerja bersama dengan bapak atau ibu sendiri.
Setiap hari ketemu di tempat kerja, membahas kerjaan, mereviu hasil kerjaan. Kemudian ketika pulang, sesampai di rumah sambil makan malam atau nonton televisi masih juga membahas kerjaan, mereviu hasil kerjaan dan saling mengingatkan apakah masih ada kerjaan yang tertunda belum dikerjakan atau sudah melebihi tenggat waktu.
Apa gak bosan? Tiap kali ketemu ngomongin kerjaan. Di rumah ngomongin kerjaan, di tempat kerja ngomongin kerjaan juga.
"Tolong buatkan kopi. Awas kalau tidak mau. Kualat kau!!"
"Siap, bos"
Atau posisinya dibalik, si anak jadi bos dan si bapak jadi bawahan. Si anak pengen ngopi, kemudian dipanggillah si bapak.
Baru saja si anak minta dibuatkan kopi, sudah didahului oleh si bapak.
"Awas kualat!!"
***
bing.com |
Berangkat kerja bareng, selalu ngomongin kerjaan baik di tempat kerja atau di rumah. Saya membayangkan jika saya ada di posisi itu, saya akan merasa tertekan. Terasa ada beban berat dan rasa canggung atau kagok harus menghadapi hal itu. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk menghadap bapak dan menyampaikan uneg-uneg saya.
"Pak, pecat saya jadi anak. Jangan pecat saya dari kerjaan ini!"
Lho...