Perkenalan dengan dunia tulis menulis bermula ketika masih Sekolah Menengah Pertama, dengan mengirimkan sebuah puisi untuk ditempelkan di Majalah Dinding Perpustakaan Sekolah. Puisi berjudul "Dapur Penuh Racun" berisi sebuah sindiran untuk para anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Tapi saya sudah lupa bagaimana detail kata-katanya. Maklum saja, karena pada waktu itu saya masih belum punya pikiran untuk mendokumentasikan hasil tulisan tersebut.
Itu adalah puisi yang saya tulis pertama kali, setelah itu saya tidak ingat apakah menulis puisi lagi apa tidak. Tapi kalau soal berinteraksi dengan buku, saya masih terkoneksi karena pada waktu itu selain menjadi anggota perpusatakaan sekolah, saya juga menjadi anggota Perpustakaan Keliling Kabupaten Rembang yang tiap hari Selasa dan Kamis mampir ke Desa kami, tepatnya di halaman Kantor Kecamatan.
Bersama teman-teman sekampung saya sering meminjam buku-buku kumpulan cerita pendek atau novel. Yang masih saya ingat adalah saya pernah dimarahi Bapak karena meminjam buku karya Achdiat Karta Mihardja yang berjudul "Atheis" dan buku berjudul "Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma" karya Idrus. Kata Bapak,"Untuk apa kamu baca buku itu? Bisa keblinger kamu."
Seumuran segitu saya tidak punya pembelaan apapun, kecuali menuruti perintah Bapak untuk mengembalikan buku pada kunjungan mobil Perpustakaan Keliling hari berikutnya. Di kemudian hari, saya tetap secara sembunyi-sembunyi meminjam buku bacaan dari Perpustakaan.
Sewaktu menginjak Sekolah Menengah Atas saya mengenal puisi Emha Ainun dari sobekan kertas milik seorang teman sekampung yang juga hobi menulis dan membaca. Tapi praktis pada waktu saya SMA saya tidak pernah lagi menulis, tapi kalau soal kesenangan membaca masih terus berlanjut bahkan sampai sekarang.
Gairah menulis saya kembali muncul sewaktu saya kuliah di Stipfarming Semarang, jurusan Farming (Pertanian), di mana pada saat itu saya ikut berkegiatan di Lembaga Pers Kampus. Saya menulis di majalah dinding kampus berupa puisi maupun karikatur berisi kritikan kepada pihak kampus.
Tulisan-tulisan saya mungkin banyak terpengaruh dari buku-buku yang saya baca. Karena selain rutinitas kuliah, saya juga mempunyai jadwal kunjungan rutin ke toko buku di pusat kota Semarang juga Perpustakaan Daerah. Dari mulai Chairil Anwar, Sutardji Chalzoum Bachri, Joko Pinurbo sampai R Tagore dan penyair dari Libanon Kahlil Gibran.
Hampir setiap hari saya menulis puisi, dalam hal apapun. Meski yang terbanyak adalah puisi tentang asmara, ya, asmara yang tak kesampaian. Seperti kisah kebanyakan, orang yang lagi jatuh cinta secara tiba-tiba akan menjadi sosok yang puitis sehingga mampu menghasilkan bait-bait yang melankolis.
Semua tulisan itu hanya saya simpan sendiri, tidak pernah saya publikasikan atau pamerkan kepada orang lain. Saya baru mulai memperkenalkan puisi-puisi saya setelah ada internet.
Melalui internet saya mulai menjelajah lebih luas lagi. Menulis puisi di status-status Friendster, kemudian ikut menjadi anggota komunitas menulis online seperti Komunitas Bunga Matahari, ikut mengirim puisi ke portal puisi semacam Fordisastra, Cybersastra, dll.
Tahun 2006 saya pindah ke Jepara untuk bekerja. Perpindahan ini membuat cakrawala perkenalan saya menjadi bertambah, saya menjadi kenal dengan para pegiat sastra di Jepara seperti Ramatyan Sarjono, Aminan Basyarie, Asyari Muhammad, Winahyu Winastuti, Alie Emje, dan beberapa nama lain. Saya juga ikut diajak terlibat dalam beberapa komunitas sastra dan budaya, seperti Samudra (Sastra Muda Jepara), selain saya masih mengelola grup Aliansi Penyair Timur di sebuah platform media sosial bersama beberapa teman pegiat sastra dari berbagai kota.
Secara onlen maupun oflen masih sering menjalin komunikasi dengan teman-teman di Rembang, melalui ajang pentas kesenian yang digelar setiap sebulan sekali mengambil tempat di bekas Stasiun Kota Rembang dalam kegiatan yang diberi nama Kethek Ogleng Baca Puisi.
Kegiatan-kegiatan tersebut terus menambah dan menumbuhkan kecintaan juga memperluas dan memperkaya wawasan, ide dan hal-hal dalam lingkup kesenian, sastra dan budaya.
Selain itu saya mulai banyak terlibat dalam berbagai antologi puisi bersama beberapa teman penyair dari luar daerah. Bersama Sosiawan Leak melalui antologi Puisi Menolak Korupsi, bersama Samudra dengan menerbitkan antologi puisi Bintang Kata, bersama Didid Endro ikut terlibat dalam antologi puisi Membaca Jepara.
Bagaimana dan Mengapa.
Bagaimana bisa menjadi sebuah puisi? Adalah momen yang saya temukan, entah ketika sedang melakukan perjalanan, sedang membaca buku, atau sedang menonton film. Begitu ada momen yang merangsang imaji saya, seketika langsung berhenti dari aktivitas yang saya lakukan pada saat itu.
Pernah suatu ketika dalam perjalanan pulang dari rumah orang tua di Rembang menuju ke tempat domisili saya di Jepara, ketika sampai di daerah Pati sewaktu melewati hamparan lahan pertanian yang membuat saya spontan menyalakan aplikasi perekam suara di telepon genggam, lalu saya rekam kata-kata yang tercipta pada saat momen itu.
KEPADA HUTAN DAN GUNUNG, DI TEMPAT AKU KECIL DULU
hanya, setelah kau pergi
tiada lagi tempat untukku tersesat dan sembunyi
(2011)
Di waktu yang lain, ketika saya sedang membaca buku entah itu prosa atau puisi, ada momen ketika apa yang saya baca itu membuat saya merasa ada semacam pemantik kepada diri saya untuk segera membuat tulisan. Segera saja saya hentikan kegiatan membaca tersebut, kemudian saya ambil pulpen dan kertas lalu asyik menulis meninggalkan buku terbuka yang baru separuh baca.
SELALU KUCARICARI NAMAMU
di antara barisbaris kata dalam kuburan puisi
di antara deretderet nada dalam pusara nyanyian
di antara lembarlembar halaman kalender yang tergeletak di tempat sampah
di antara helaihelai kerutan pada wajah orang yang kutemui sepanjang jalan
tapi, tak juga kutemukan nama-mu
(2011)
Oh ya, saya juga suka mengunjungi pameran lukisan yang digelar di galeri-galeri ataupun hanya diadakan di sebuah acara pameran yang biasanya dihelat oleh Pemerintah Daerah. Ketika saya melihat lukisan yang dipamerkan, dan jika kebetulan ada lukisan yang membuat saya tertarik bisa dengan seketika akan muncul deretan kata-kata berupa bait-bait yang harus saya rekam sebelum menghilang. Untuk itulah handphone tidak pernah lupa saya bawa, sebagai alat untuk menulis dan mencatat apa yang ada di kepala saya.
Namun ada kalanya saya juga tidak memiliki gairah sama sekali untuk menulis, walaupun sudah dipaksa untuk menulis sebaris dua baris puisi, kemudian terpaksa saya hapus lagi karena saya tidak menemukan apa yang ingin saya sampaikan melalui tulisan tadi.
Menulis Agar Tidak Lupa, adalah semacam pembelaan diri ketika harus menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang ketertarikan saya pada aktivitas menulis. Entah darimana saya mendapatkan kalimat tersebut pertama kali, sudah lupa.
Catat-Mencatat-Catatan, hampir setiap waktu saya berkutat dengan tiga hal tersebut. Setiap kali melakukan perjalanan atau bahkan pada saat berdiam diri, selalu saja ada yang mendesak-meminta untuk dituangkan dalam tulisan, entah nanti akan berakhir menjadi puisi atau bahkan tetap menjadi sebuah catatan yang tak berbentuk apa-apa.
Seorang teman pernah menjuluki saya sebagai ”lelaki yang tak henti menandai”, saya tidak menyangkalnya. Sebab sedikit banyak hal itu memang demikian adanya. Saya suka mengabadikan segala sesuatu yang menarik perhatian saya, baik melalui kamera maupun tulisan sebagai proses mencatat dan menandai yang sampai saat ini masih terus saya lakukan.
Secara formal saya tidak pernah belajar sastra maupun masalah penulisan, saya belajar dari apa yang saya baca juga dengan orang-orang dimana saya berinteraksi dengannya. Hal ini membuat saya tidak terlalu terpaku pada kaidah-kaidah penulisan, sehingga saya tidak begitu memusingkan akan menjadi apa dan bagaimana bentuk hasil tulisan saya.
Pernah, saya berinteraksi dengan sastrawan senior Abdul Kohar Ibrahim melalui aplikasi perpesanan di facebook tentang plagiasi dan keterpengaruhan dari penyair-penyair yang sudah lebih dulu ada. Melalui media telepon juga pernah diskusi kecil mengenai proses kreatif di dunia sastra, bahkan saya pernah sampai dikatakan sebagai “orang bebal dan bodoh” oleh salah seorang penyair senior karena sewaktu ditanya 'Apakah kamu seorang Penyair?' saya jawab "50%".
Tapi itu tidak membuat saya menciut dan berhenti menulis. Saya tetap saja menulis. Tak peduli apapun hasil dari tanda yang berupa jejak tersebut. "Baik buruknya terserah mereka saja. Siapapun berhak menilai tapi aku juga bebas menentukan bahasa", jawab saya ketika seorang teman bertanya kenapa saya masih saja menulis dan mencatat.
CELOTEH SI GILA
jamur telah lama mengotori dinding, membuat gambar serupa lukisan kisah manusia. orangorang yang terlahir tanpa sengaja, terusir dari tempat yang seharusnya. masih saja pembicaraan di koran dan televisi, didominasi persoalan kasta dan etika. apakah kita datang dengan berkat di tangan? entah, terima saja nasib buruk yang segera akan datang.
tuhan, tuhan, tuhan, kenapa kau tinggalkan aku? selalu aku bertanya kepada orangorang suci, apakah ada tempat di surga buatku kelak, saat telah kukorbankan kemaluanku untuk melahirkan anakanak, yang setelah dewasa nanti mereka akan saling menikam mati. baratayudha. tak ada perdamaian abadi, sebagaimana pula tak ada teman yang abadi. hanya derita kekal selamanya.
jangan percaya padaku. aku hanya orang gila yang meneropong dunia. jika mencari aku, tanyakan pada hatimu, adakah diriku di situ. ah, mulai ngawur bicaraku. lantas kenapa kau masih saja menyimak ucapanku? pergilah, dan abaikan aku. o dunia yang malang. maaf aku telah meninggalkanmu sekarat sendirian.
perjalanan yang harus di tempuh, dalam berbagai ukuran, panjang atau singkat. bagaimana dengan akhirnya kelak? apakah mesti juga kita yang pikirkan? o hidup o jiwa o pencipta. tugasku hanya menjalani. apapun nanti yang akan terjadi, terjadilah. sudah.
(2010)
Seperti judul puisi di atas, mungkin saya hanyalah si gila yang suka ngomong apa saja, suka seenaknya sendiri dalam memaknai dan mencatat hal-hal yang saya lewati dalam perjalanan hidup menuju keabadian. Entah itu hal-hal besar atau bahkan hal-hal remeh yang mungkin tidak ada artinya bagi orang lain, tapi begitu berarti bagi diri saya. Terutama dalam hal pembentukan diri dan penerimaan terhadap segala apa yang terjadi di perjalanan kehidupan saya.
*) Tulisan ini dimuat dalam buku "Menanam Kata Menuai Asa: Esai Proses Kreatif", Balai Bahasa Jawa Tengah, 2020.
No comments:
Post a Comment