heteroculture: September 2017 IBX583E46ECC8CCF

Sep 25, 2017

Desaku Berubah

pixabay.com

Hari ini aku diajak jalan-jalan oleh cucuku, dimulai dengan melewati jalan yang sudah terang benderang oleh nyala lampu.Lantas aku teringat dan membandingkan dengan keadaan dulu, yang masih gelap sebagian, karena terbatasnya listrik. Sehingga tiap kali ada suatu daerah yang gelap, beredarlah dari mulut ke mulut sebuah cerita yang seram dan menakutkan.

Langit sekarang sudah dipenuhi dengan tower-tower antena penyedia layanan telekomunikasi. Dahulu, untuk berkomunikasi, orang hanya bisa lewat surat atau telegram yang dikirim melalui jasa pos. Sekarang, orang semakin mudah berkomunikasi, bisa melalui telepon, sms, atau bahkan chatting.

Sekarang di depan kantor walikota [dahulu adalah kantor kecamatan] sudah berdiri ruko-ruko dengan berbagai outlet yang menawarkan berbagai macam produk; jasa telekomunikasi, warung internet, game, kuliner, dan lain-lain.

Anak-anak sekarang sudah tidak ada lagi yang bermain 'benthik-sepongan-bagsodor-betengan-layangan-nekeran'. Sekarang, semua permainan sudah serba instan-serba digital, tinggal klik, maka tersajilah semua. 

Ah, aku jadi kangen dengan nostalgia masa lampau.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu, "masihkah anak-anak sekarang mengingat pahlawan-pahlawan yang berjuang untuk kemerdekaan negara ini?, ataukah yang sekarang ada di pikiran mereka hanya tokoh-tokoh kartun dari negeri asing, seperti yang sekarang banyak tersaji di layar televisi?"

Melewati depan sebuah rumah makan cepat saji [dulu adalah warungnya nasi pecel], dekat portal, tempat kami dulu sering nongkrong menunggu anak-anak SMA lewat, kulihat rumah makan ini demikian padat pengunjung. 

Orang-orang sudah berubah menjadi konsumtif, mungkin karena saking banyaknya insentif yang diberikan oleh pemerintah, atau memang karena negara ini sudah cukup makmur.

Keadaan demikian cepat berubah. Dulu, kami begitu susah untuk memenuhi keinginan bermain musik, sekarang studio sudah begitu banyak tersedia. Dulu, untuk pergi ke keramaian kota saja begitu sulit aksesnya, sekarang tak usah kemana-mana, di pusat kota [dulu adalah lapangan sepakbola] sudah berdiri dengan megahnya sebuah pusat perbelanjaan, yang siap menyajikan segala macam bentuk hedonisme.

Ah, rasanya aku sudah lelah mengikuti perjalanan ini, hingga tak terasa aku tertidur, dan terkejut ketika dibangunkan oleh cucuku.

Ternyata, semua itu tadi hanya mimpiku saja. Desa ini masih sama dengan lima-sepuluh tahun yang lalu, masih saja bermasalah dengan air, kekeringan, dan sebagainya. Walaupun sudah berganti-ganti pucuk pimpinan pemerintahan, tetapi pembangunan dan kemajuan yang diharapkan seakan berjalan dengan lambat. Entah sampai kapan.