heteroculture: 2016 IBX583E46ECC8CCF

Dec 26, 2016

Salahkah Bila Kami Merasa Khawatir

Hampir tiap hari kami harus terjaga sampai larut malam, bahkan hingga dini hari untuk menadah air yang mengalir dari pipa PDAM. Aliran yang kecil membuat kami harus menampung sedikit demi sedikit dalam jangka waktu yang lumayan lama.

Bayangkan, hampir tiap hari begadang. Kebayang kan bagaimana susahnya ketika musim kemarau panjang datang.

Angin yang kering, udara yang terasa panas. Rumput, semak, dedaunan berwarna coklat. Tanah retak-retak. Bahkan seandainya ada uang koin terjatuh dan masuk ke dalam retakan itu, kami harus mencongkel retakan/ rekahan tanah itu.

Bahkan pernah, saking parahnya musim kemarau yang melanda, untuk kebutuhan mandi dan mencuci kami harus membeli dari penjual air keliling. Kemudian air yang untuk masak juga beli dari penjual yang lain, karena berasal dari sumber yang berbeda.

Kami tinggal di daerah yang masuk dalam wilayah pegunungan kapur. Tanah tempat berpijak banyak mengandung kapur, mayoritas berwarna putih dan kekuning-kuningan.

Air sumur/ PAM yang kami gunakan untuk masak selalu meninggalkan kerak di dasar panci. Sehingga makin lama, panci akan makin tebal dan berat.

Kini kami memang sudah tidak mukim lagi di sana. Beberapa waktu lalu kami mendengar ada pembangunan pabrik semen di sekitar desa tempat kami tinggal dulu. Lalu saya membayangkan bagaimana keadaan ketika proyek itu berjalan.

Truk-truk pengangkut bahan material/ galian hilir mudik, menyisakan debu yang makin menambah keruh udara yang sudah lama tidak lagi terasa sejuk.

Katanya lagi, lokasi proyek itu berada di pegunungan kapur yang selama ini menjadi tandon air bagi warga.

Salahkah kami jika merasa khawatir akan kehilangan sumber mata air untuk kehidupan kami?

Dec 21, 2016

Om Telolet Om

Telolet Dekat Rumah
Saban sore mulai jam 16.30 sampai jam 17.00, ada hiburan baru di depan rumah. Sekelompok remaja di kisaran usia belasan, kirakira masih sekolah di tingkatan SMP, berkumpul. Mereka adalah para pemburu telolet, klakson bis antar kota antar provinsi yang mengeluarkan bunyi yang keras dan khas. 

Dengan kode tangannya mereka meminta kepada sopir untuk membunyikan klakson tersebut, yang lalu mereka abadikan dengan aplikasi foto atau video melalui smartphone yang mereka bawa. 

Kebetulan di sebelah rumah berjejer pula agen tiket bis. Jadi hampir bisa dipastikan bis tersebut akan berhenti sebentar untuk menaikkan penumpang, ke tujuan Jakarta atau Bandung. 

Ketika ada bis yang penampakannya menarik, mereka akan segera berlari mendekat ke bis lalu berfoto bersama di depan bis. 

Kadang sopir bis itu mengerjai mereka yang berfoto tersebut: ketika mereka asyik berpose tibatiba sopir membunyikan klakson yang membuat mereka kaget lalu tertawa terbahak. Sopir beserta keneknya pun ikut tertawa.

Ada satu hal yang cukup menarik, ketika ada polisi lewat mereka ini bersikap untuk tidak menarik perhatian para polisi tersebut, mungkin mereka pernah kena tegur dari polisi.

(sumber foto dari instagram)
Pemburu Telolet Yang Lain
Kelompok-kelompok pemburu telolet ini mengambil posisi di tempat-tempat yang memungkinkan untuk berkumpul dalam jumlah yang banyak, seperti di SPBU atau halaman minimarket. 

Kelompok ini sekarang tidak hanya didominasi oleh sekelompok anak remaja SMP saja, tapi juga diramaikan oleh ibu-ibu, bapak-bapak, yang masing-masing beserta anak-anaknya yang berusia TK atau SD. Ini berarti bahwa hiburan itu tidak harus mahal.

Dengan menggunakan kertas atau kardus bekas yang diberi tulisan "Om Telolet Om", "Pemburu Telolet" dan lain lagi yang sejenisnya, mereka mengharap para sopir mau membunyikan klakson teloletnya.

Namun lama kelamaan, karena dinilai mengganggu kelancaran dan ketertiban lalu lintas termasuk memberi andil terhadap kemacetan jalan, petugas kepolisian menjadi sering melakukan razia atau pemantauan di kerumunan para pemburu telolet itu.  Hingga lambat laun kerumunan tersebut menjadi berkurang bahkan hilang.

Dec 13, 2016

Pameran Replika Barang Kartini

Beberapa waktu lalu, tepatnya pada tanggal 19-24 April 2016,  di Jepara diadakan Pameran Replika Barang-Barang Kartini yang diselenggarakan oleh Komunitas Rumah Kartini, kebetulan saya kenal dengan pemrakarsa acara tersebut, yaitu mas Apip Qimo.

Pada acara tersebut  dipamerkan barang-barang berupa furniture yang pernah digunakan oleh keluarga Kartini, lukisan dan batik yang pernah dipakai oleh Kartini

Di tengah kesibukan, saya sempatkan untuk berkunjung ke pameran tersebut. Di sana, saya bertemu dengan seorang teman, mas Drajat dan teman ceweknya, juga Zul Ahmad, anak buah. :)

Kemudian kami diajak berkeliling dan oleh pemandu diceritakan, bahwa contoh kursi yang dibikin replika berasal dari data di Museum Kartini di Rembang.

Terus mas Drajat tanya ke saya, “Sudah pernah ke Museum Kartini Rembang?”
Saya jawab, “Seingat saya belum pernah”

Lalu kami berkeliling lagi di area pameran dengan ditemani seorang kurator, mas Minthil kalo gak salah namanya. Hingga tibalah kami di depan replika "Gong Senen". Peninggalan sejarah yang sampai kini barang aslinya tidak diketahui keberadaannya

Dari cerita mas Apip, soal Gong Senen ini dia dan teman-teman yang terlibat harus menggali informasi sebanyak-banyaknya ke orang-orang tua di sekitaran Jepara. Dengan modal yang ada, akhirnya diputuskan untuk membuat replikanya.

Replika Gong Senen dibuat oleh 5 orang pemahat ukir. Jumlahnya harus 5 orang dan dari desa Senenan. Kalau di tengah jalan ada seorang yang mundur, harus dicarikan pengganti agar jumlahnya tetap 5 orang.

Replika Gong Senen dibuat dari kayu jati, memakan waktu berbulan-bulan. Finishing menggunakan rendaman teh dan/atau tembakau. Sayang, kami tidak diperkenankan mengambil gambar replica Gong Senen tersebut.


Setelah puas berkeliling dan bercakap-cakap, usailah tur singkat kami. Satu yang perlu diingat adalah bahwa memelihara apa yang kita punyai itu tidak mudah, dan biasanya kita akan merasakan betapa berartinya sesuatu itu ketika ia sudah menghilang.

Sulang dan Budaya Ngopi

Ilustrasi foto dari sulang.wordpress.com

Menikmati segelas kopi hitam sambil me’lelet’kan ampas kopi halus ke rokok sudah merupakan pemandangan yang lazim/lumrah ditemui di warung-warung kopi di sekitar Sulang.

--------


Sejak lama, anak-anak muda Sulang senang melakukan aktivitas berkumpul, yang untuk selanjutnya disebut nongkrong. Komunitas nongkrong ini, tidak hanya berasal dari satu generasi saja, tetapi lintas generasi. Ada yang merupakan teman di sekolah, teman sepermainan, ada juga guru dan muridnya. Dalam komunitas ini, semua atribut hilang, lebur. Semua sama, setara.

Kegiatan nongkrong ini menimbulkan gagasan dari ‘seseorang’ yang berinisiatif untuk membuat sarana untuk tempat nongkrong yang lebih representatif, yaitu dengan mendirikan warung kopi.

Hal ini terjadi kira-kira di era 90-an, yang waktu itu lagi booming Play Station, rentalan VCD dan Piala Dunia (untuk mengetahui kapan dan siapa yang pertama kali mempopulerkan warung kopi, perlu diadakan riset lebih lanjut).

Dengan berdirinya warung kopi, aktivis nongkrong akhirnya mendapatkan tempat ‘berlabuh’ yang lebih baik dari pada sebelumnya yang (mungkin) hanya bergerombol di ujung-ujung jalan, atau bahkan di pos ronda.

Dilengkapi dengan fasilitas game PS, membuat aktivis nongkrong ini menjadi lebih betah untuk berlama-lama berada di warung kopi, meski hanya dengan ditemani segelas kopi. Kadang, aktivitas nongkrong juga di barengi dengan acara nonton bareng pertandingan sepakbola, yang diakses melalui layar televisi yang telah tersedia.

Pada perjalanannya, keberadaan warung kopi sempat juga mengalami pasang surut. Ada yang terpaksa tutup karena terjadi ‘mis management’, atau karena si ‘owner’nya pindah domisili. Tetapi ada juga yang mengalami perkembangan setelah di’take over’ alias terjadi pergantian pengelolaan.

Dalam benak dan angan-angan saya, aktivitas ngopi ini bisa menjadi sarana untuk transfer teknologi, sarana untuk saling berbagi informasi dan pendapat. Entah itu mendukung atau bahkan meng’kritisi kondisi bangsa ini (dalam lingkup yang lebih khusus, keadaan Sulang).



Warung kopi menjadi tempat bertemunya para intelektual muda Sulang lulusan Yogya, Semarang atau kota lain, dan menularkan pengetahuannya kepada aktivis nongkrong yang tetap tinggal di Sulang, yang semua tetap bermuara pada satu hal, kemajuan Sulang itu sendiri.


Sekian.

--------
Keterangan:
Sulang, sebuah desa di Selatan kota Rembang, Jawa Tengah.

Dec 3, 2016

Kimcil Kepolen

"Pancene koe pabu, nuruti ibumu, jare nek ra ninja, ra oleh di cinta
Opo koyo ngene, susahe wong kere, ameh nyanding tresno, kalah karo konco"
[Kimcil Kepolen, NDX Aka Familia]

***

Sudah beberapa hari ini anak-anak sering sekali menyanyikan potongan lirik di atas. Saya gak begitu memperhatikan bagaimana kata-katanya. 

Dugaan saya, mereka mendengar lagu tersebut dari henpon milik saudara sepupunya yang sering disetel pas dolan ke rumah. 

Dan ternyata yang bikin lagu ini makin populer di anak-anak adalah adanya kenyataan bahwa lagu ini juga menjadi soundtrack di wahana permainan odong-odong, yang tentu konsumennya anak-anak juga. 

Lalu apakah kita akan memberi teguran kepada pengelola untuk tidak memutar lagu-lagu yang tidak sesuai dengan usia anak-anak? 

Yang perlu dilakukan adalah sensor-diri-sendiri, membatasi apa yang boleh dan bisa dinikmati oleh anak-anak, dan tak lupa memberikan penjelasan kepada mereka.

Kembali lagi ke soal lagu tadi, yang akhirnya setelah browsing saya tahu judulnya adalah "Kimcil Kepolen" yang dinyanyikan oleh NDX Aka Familia, band beraliran hip hop dangdut yang berasal dari Jogjakarta.

Awalnya saya kira liriknya adalah "Pancene kowe babu", eh ternyata yang benar adalah "pabu". 

Kemudian saya  teringat omongan salah seorang teman saya waktu kos di Solo dulu, namanya Agus Hartanto, anak Wonosobo penggemar klasik rock, terutama Deep Purple.  

"Pabu", adalah salah satu kosa kata dalam bahasa sleng khas dari Jogja, seperti "dagadu" misalnya. Untuk mengatakannya, memakai kaidah atau rumus sendiri.

Kemudian saya diberitahu rumusnya.

Jadi, saya tahu maksudnya "Pabu" itu. Apakah anda tahu juga?

***

Nov 29, 2016

Mbah Saelan dan Duri Ikan

Di depan rumah yang ditempati Bapak, adalah rumah mbah Saelan, salah seorang sesepuh di kampung kami. Beliau masih keturunan mbah Yakub, leluhur di kampung kami.  Mbah Elan sering ikut nonton tivi di tempat kami, sampai siaran selesai. 

Mungkin tidak hanya saya yang pernah mengalami kejadian ini, menelan duri ikan lalu durinya nyangkut di tenggorokan, sakit rasanya kalo buat menelan. 

Suatu kali, saya mengalaminya. menelan duri ikan, dan nyangkut di tenggorokan. Berbagai cara dilakukan untuk mengatasinya, dari mulai minum air putih, makan nasi tanpa dikunyah lebih dulu, tapi tak juga melepaskan sangkutan duri tersebut. 

Entah siapa yang memberitahu, tibatiba saya disuruh minta air putih kepada mbah Saelan. Sambil membawa gelas, saya ke rumahnya, lalu menyampaikan maksud kedatangan saya. 

Setelah mbah Saelan paham maksud saya, segera saya diajaknya ke belakang, ke bagian dapur. Lalu dari sebuah gentong yang terletak di sudut, mbah Saelan mengambil segelas air dan diberikan kepada saya, untuk kemudian saya minum. Saya pamit pulang setelah berterima kasih. 

Sesampai di rumah, langsung saya minum segelas air dari gentong tadi. Dan, alhamdulillah, durinya ilang dan tenggorokan tidak sakit lagi.

Sampai sekarang saya masih belum paham atau belum mengerti apa hubungan air dari gentong Mbah Saelan tersebut dengan duri ikan yang nyangkut di tenggorokan saya.

Nov 6, 2016

Demam

Bapak masih ngontrak. Belum ada listrik, untuk penerangan masih menggunakan lampu minyak dan lampu petromak.

Suatu ketika saya sakit demam. Saya hanya berbaring di tempat tidur. Waktu malam hari, dan saat saya masih terjaga, kata Ibu, saya sering tertawa-tawa sendiri. 

Ketika ditanya, jawab saya, "Lucu". "Kenapa?", tanya Ibu lagi sambil memegang kening saya. "Lampunya bisa goyang-goyang sendiri!" Kata Ibu, lampu minyak yang tertiup angin apinya akan terlihat seperti bergoyang-goyang.

Kali lain, saya terlihat seperti ketakutan, ketika ditanya Ibu, jawab saya,"Gentengnya menjadi besar, sehingga saya takut akan kejatuhan".

Apakah saya berhalusinasi? Entah. Ketika saya tidur, kata Ibu, saya sering mengigau. Yang saya ingat dari mimpi saya itu, saya bertemu dengan orang-orang, yang lama kelamaan berubah menjadi semakin besar bentuknya seperti raksasa, sedangkan saya masih dalam ukuran yang tetap.


Mimpi-mimpi sejenis itu kadang masih menghampiri saya, sampai sekarang.

Nov 2, 2016

Gerhana Matahari

(1983) 
Waktu itu usia saya masih 7 tahun beberapa bulan menuju ke 8 tahun. Yang saya ingat adalah cerita yang mengiringi adanya peristiwa gerhana matahari itu. Menurut cerita yang saya dengar, matahari akan ditelan oleh Betara Kala sehingga dunia menjadi gelap gulita tanpa cahaya.

Betara Kala adalah sosok raksasa yang bersifat jahat. kemudian agar matahari segera dimuntahkan oleh Betara Kala, orang-orang sibuk memukul-mukul apapun yang dapat menimbulkan suara riuh. Ada yang memukul kentongan, lesung, ember dan lain-lain.

Dan ketika gerhana matahari total berlangsung, saya dilarang oleh bapak dan ibuk untuk melihat secara langsung ke arah matahari. Karena akan menjadi buta. Jadinya, ketika keadaan gelap gulita dan suara tetabuhan bergema, saya berada di dalam rumah dan bersembunyi di bawah kolong meja.

(2016) 
Peristiwa gerhana matahari total kembali terjadi. Tapi berkebalikan dengan apa yang saya alami dulu. Sekarang orang berbondong-bondong menyiapkan segala rupa untuk menyambut kedatangan gerhana. seperti tamu agung yang harus dijamu sedemikian rupa.


Orang berebut tidak mau ketinggalan dan mengabadikan momen peristiwa gerhana. (Mungkin) mereka tidak tahu kalau matahari mereka ditelan Betara Kala.

Nov 1, 2016

Bahkan Valentino Rossi pun [Belum Tentu] Bisa

Bagi  yang sering di jalan, baik naik kendaraan bermotor roda 2 ataupun lebih, akan menjumpai gaya nyetir  sepeda motor yang tidak biasa. 

Bagaimana gayanya? 

Kalau umumnya orang nyetir motor itu memegang stang dengan posisi punggung tangan ada di bagian atas, maka gaya yang tidak biasa ini kebalikannya, punggung tangan posisinya ada di bawah. Hanya orang-orang hebat yang bisa melakukannnya. 

Coba bayangkan bagaimana ketika dia nguntir gas? Bagaimana ketika dia ngerem? Memikirkannya saja saya sudah bingung.

Dan yang sering melakukan hal itu adalah para perempuan, yang rata-rata masih muda usia. Mereka pantas disebut orang-orang yang luar biasa. 

Saya tidak yakin Valentino Rossi bisa melakukannya. Bagaimana dengan anda?

Oct 31, 2016

[Mungkin] Saya Lebay



Saya tak ingat lagi kapan tepatnya, saat saya sempat "bersitegang" dengan bapak di rumah gara-gara sepakbola. Kok bisa? Ya, bisa saja.

Waktu itu timnas Indonesia sedang bertanding melawan Jepang, salah satu pemain yang masih saya ingat adalah Ricky Yakob sebagai salah seorang penyerangnya. Lalu apa yang membuat bersitegang?

Saya berpendapat bahwa kita harus tetap optimis bahwa kita bisa mengimbangi kesebelasan Jepang, tapi bapak bilang bahwa kita harus realistis dengan kemampuan kita. Sampai-sampai saya bawa-bawa soal nasionalisme segala, sementara bapak hanya terkekeh saja.

Beberapa hari lalu euphoria kembali menyeruak, yaitu ketika Rio Haryanto, menjadi satu-satunya pembalap dari Indonesia yang bisa membalap di lintasan F1, bahkan satu-satunya pembalap dari Asia.

Banyak dukungan dan simpati yang diberikan kepada Rio, tapi tak sedikit pula cibiran yang melayang kepadanya. Wajar, hidup di dunia penuh dengan banyak orang tentu banyak pula resiko yang harus dihadapi. Realistis adalah ketika kita berharap Rio bisa membalap sebaik-baiknya dan tentunya bisa mengukir prestasi di tim "kecil" yang dibelanya.

Sekian tahun ada balapan F1 saya hanya melirik sekilas saja, tapi ketika kemarin F1 disiarkan, bahkan saya merasakan antusias yang cukup besar. Apakah ini karena ada orang Indonesia yang ikut membalap? Entah.

Sudah lama saya tidak merasakan gairah seperti ketika Hendrawan menjadi penentu kemenangan tim bulutangkis (suer, ketika itu mata saya bahkan berkaca-kaca mau nangis), atau ketika mendengar nama Ellyas Pical disebut oleh ring announcer sebagai juara dunia tinju kelas bantan versi IBF.

Yah, sudahlah.

Tentang Mati

Apa yang kita rasakan ketika mendapat berita kematian? Apakah ada perasaan sedih, kecewa, berkabung, geram atau bahkan gembira dan senang? Tergantung, siapa yang menjadi subyek dari berita itu, tentunya.

Kematian adalah hal biasa, normal, wajar. Yang hidup sudah pasti akan mati. Dan manusia termasuk di dalamnya. Mengutip Socrates,”Semua manusia mati”.

Haruki Murakami, dalam novelnya Norwegian Wood, mengatakan,”Kematian bukanlah lawan kehidupan, tetapi ada sebagai bagiannya”. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Gde Prama, bahwa,”Ia (kematian) adalah mitra makna kehidupan. Hanya dengan menyelami kematian, kita bisa hidup sekaligus mati dengan indah”.

Manusia menanggapi kematian dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang akan dengan spontan menyebut, "Inna Lillahi Wa Inna Illaihi Rajiun, Semua yang berasal dariNya pasti akan kembali lagi padaNya". Ada juga yang (mungkin) akan merasa senang menyambut datangnya kematian, jika mereka sependapat dengan Chairil Anwar yang mengatakan,”Hidup hanya untuk menunda kekalahan”, dalam salah satu puisinya. Atau seperti kata Sartre,”Mati adalah resiko hidup”.

"Telah pulang ke rumah Bapa", "Telah kembali ke haribaanNya", "Telah beristirahat dengan tenang", adalah beberapa baris kata yang sering ada pada iklan-iklan tentang kematian. Apa maknanya?

Janganlah takut menghadapi mati. Mati bisa berarti ‘pulang-kembali’ karena kita telah selesai menjalankan tugas untuk berada di dunia. Bisa juga berarti ‘istirahat’ dari hiruk pikuk dunia yang melelahkan, dan berat.

Sebenarnya semua dari kita telah mengalami pengalaman mati, walau cuma sebentar. Fase ini terjadi ketika kita sedang tidur. Pada hakikatnya, tidur sama dengan mati, karena pada waktu tidur kita tidak lagi berkuasa untuk mengendalikan tubuh kita.

Bahkan Nabi Muhammad Saw, menyebutkan dalam doanya,”Bismika Allahumma Ahya Wa Amut, Ya Allah Dengan AsmaMu Aku Menjalani Hidup, dan Dengan AsmaMu Malam Ini Aku Mati”.

Jika ada yang bertanya, siapkah kita menghadapi kematian? Siap tidak siap, kita semua akan mati. Dan itu adalah satu hal yang pasti!

2008-2016