heteroculture: February 2019 IBX583E46ECC8CCF

Feb 12, 2019

Takdir Sebuah Buku

“Buku menyediakan pikiran, imajinasi dan pengetahuan menjadi satu”
-Pungkit Wijaya, Eksponen Sasakata.

-[]-

Mengapa orang menghancurkan buku? Jawabannya, demikian Fernando Baez dalam bukunya Penghancuran Buku dari Masa ke Masa (Marjin Kiri, 2003), adalah untuk menghabisi memori penyimpannya, artinya warisan gagasan-gagasan dari suatu kebudayaan secara keseluruhan. Penghancuran buku merupakan sebuah konflik yang membekas dalam ingatan.

Data The World’s Most Literate Nation Study mengenai literasi pada tahun 2016 sebagaimana dikutip di Geotimes1) menempatkan Indonesia pada peringkat 60 dari 61 negara, berada setingkat di atas Botswana. Namun kenyataan pahit tersebut seolah tidak menjadi masalah bagi masyarakat kita bahkan aparat pun tidak ragu untuk memberangus buku-buku.

Dalam harian tempo.co2), penulis Anton Kurnia mengatakan bahwa setiap tanggal 17 Mei diperingati sebagai perayaan Hari Buku Nasional, tapi tetap saja dibayangi oleh aksi pemberangusan buku, razia, dan pembubaran diskusi publik dengan alasan mencegah kebangkitan komunisme dan berdirinya kembali Partai Komunis Indonesia oleh aparat kepolisian, militer atau organisasi massa yang tidak punya hak untuk merazia dan memberangus buku.

Sebab menurutnya, hal ini tidak sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi pada 13 Oktober 2010 Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 yang membatalkan UU Nomor 4/PNPS/1963 tentang kewenangan kejaksaan melarang barang-barang cetakan tanpa proses peradilan yang kerap dijadikan dasar bagi kejaksaan dalam membredel buku yang dianggap mengganggu ketertiban umum.

Duta Baca Indonesia Najwa Shihab seperti dikutip dari detiknews3) angkat bicara soal isu komunisme dan pemberangusan buku. “Saya memahami sensitifitas yang menyelimuti isu komunisme dan peristiwa sejarah yang menyertainya pada tahun 1948 dan 1965. Tapi menyikapi isu ini dengan pemberangusan buku adalah tindakan yang tidak tepat. Negarapun lewat putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2010 juga sudah jelas mencabut kewenangan Kejaksaan Agung untuk melakukan pelarangan buku tanpa izin pengadilan. Tindakan ini bukan hanya keliru secara prinsip tapi secara praktik juga sia-sia karena secara prinsip tidak sejalan dengan demokrasi yang menghargai perbedaan, kebebasan berpendapat dan menjauhkan kita dari amanat konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Melarang membaca buku sama saja dengan menghalangi upaya mencari, mengolah, dan menyikapi informasi dan pengetahuan secara bebas dan kritis. Hal tersebut juga sebuah kesia-siaan karena di zaman internet tiap orang bisa mencari informasi  dan mempelajari pengetahuan apapun yang diinginkannya dan pelarangan buku adalah kemubaziran akut karena di tengah rendahnya minat baca, pelarangan buku adalah kemunduran luar biasa. Indonesia bisa semakin tertinggal dari bangsa-bangsa lain yang selalu terbuka kepada ide-ide baru dan pengetahuan-pengetahuan baru,” ucapnya di Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (17/5/2016).

(sumber kumparan.com)
Berikut data terkait pemberangusan buku yang dinilai kurang efektif atau bahkan dianggap tidak tepat sasaran untuk alasan memberantas "pemikiran kiri":

  1. Penangkapan aktivis literasi Adlun Fikri dan kawannya Supriyadi Sawai di Maluku Utara, 10 Mei 2016 karena tulisannya mengenai suap aparat, dia dituduh menyebarkan ajaran Marxisme, Leninisme dan Komunisme. Bersama penangkapannya disita buku filsafat Marxisme berjudul Nalar yang Memberontak, Kekerasan Budaya Pasca 1965, dan Orang yang di Persimpangan Kiri Jalan karya Soe Hok Gie.
  2. Pada 11 Mei 2016, aparat menyita sejumlah buku mengenai Partai Komunis Indonesia di sebuah pameran buku di salah satu mall di Tegal. Buku-buku tersebut antara lain Komunisme Ala Aidit, Siapa Dalang G30S?, Kabut G30S, dan The Missing Link G30S.
  3. Gramedia menarik buku serial "Orang Kiri" yang berisi investigasi Tempo mengenai PKI pada 13 Mei  2016. Juga buku karya Hersri Kuriawan yang berjudul Memoar Pulau buru ikut ditarik dari peredaran karena buku tersebut berisi tentang masa penahanan penulis di era Orde Baru.
  4. Penggerebekan polisi di kantor penerbitan Narasi di Yogyakarta yang kemudian menyita buku karya Kuncoro Hadi yang dianggap beraliran kiri.
  5. Pembubaran perpusatakaan jalanan oleh aparat TNI di Bandung. Bahkan sempat terjadi bentrokan fisik antara pegiat perpustakaan dengan aparat pada 20 Agustus 2016 pukul 11 malam.
  6. Pada 26 Desember 2018 aparat menyita sejumlah buku di Kediri. Banyak buku yang disita merupakan keluaran penerbit besar, misalnya, buku berjudul Gerwani: Kisah Tapol Wanita dari Kamp Plantungan merupakan terbitan Kompas. Ada juga Di Bawah Lentera Merah karangan Soe Hok Gie yang diterbitkan Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta.
  7. Hal serupa terjadi di Kota Padang ketika aparat menyita beberapa eksemplar buku yang ditengarai bermuatan Komunisme pada 8 Januari lalu.
  8. Pada Januari lalu pun Jaksa Agung, Prasetyo, mengatakan di DPR bahkwa akan ada razia buku besar-besaran dengan tujuan memberantas paham kiri.

Dengan deret panjang kasus yang mengkambinghitamkan buku, apa wawasan masyarakat Indonesia akan terjaga dari pengaruh Komunisme atau mengalami kemunduran pola pikir akibat tindakan yang bisa dibilang terlampau otoriter? Bukankah dengan membaca dan mendiskusikan buku secara terorganisir, terpantau dan edukatif merupakan bentuk perluasan khasanah wawasan masyarakat Indonesia daripada menghancurkan "sumber pengetahuan" itu sendiri karena dianggap berbahaya?

Jika bahkan aparat tidak ragu untuk memberangus dan membinasakan buku-buku, dengan dalih buku-buku tersebut mengandung “ajaran kiri” dan membahayakan, bukankah hal tersebut malah memicu rasa penasaran publik yang berlebihan sehingga publik justru akan melakukan pencarian masif tentang 'ajaran kiri' ? 

Menurut sejarawan Bonnie Triyana aksi pemberangusan buku adalah puncak gunung es dari wabah anti-intelektual yang dilakukan pemerintah dan sebagian masyarakat. Bisa dikatakan pula sebagai bentuk warisan orde baru yang membatasi pengetahuan dan pemahaman rakyat Indonesia mengenai sejarah bangsanya sendiri, seperti dikutip dari pengamat politik Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi.

Buku Mengubah Manusia, Manusia Mengubah Buku.

Buku dapat mempengaruhi kebudayaan manusia, sebagaimana yang dituliskan oleh  Carlos María Domínguez di dalam bukunya Rumah Kertas (Marjin Kiri, 2016), bahwa buku mengubah takdir hidup orang-orang.

Sebagai contoh adalah bagaimana pengaruh yang ditimbulkan setelah orang-orang membaca buku Das Kapital karya Karl Marx, Siddarta karya Herman Hesse atau buku-buku dari Pramoedya Ananta Toer.

Pengaruh-pengaruh yang mungkin timbul karena membaca buku itulah yang dijadikan sebagai salah satu di antara pelbagai alasan dilakukannya tindakan pemberangusan, perampasan, penyitaan dan pelarangan beredarnya sebuah buku.

Dan sebagaimana buku yang bisa mengubah takdir hidup manusia, manusia juga bisa mengubah takdir dari sebuah buku, apakah akan berakhir di sebuah perpustakaan yang apak dan berdebu, berada di tangan pembaca yang dengan cermat menyetubuhi kata demi kata lalu melahirkan pencerahan dan pemikiran-pemikiran baru, atau justru berada di lokasi pembantaian percik-percik pemikiran yang dicurigai akan dapat menimbulkan pengaruh yang tidak diinginkan oleh penguasa.

Dan sepertinya takdir terakhirlah yang akan sering ditemui oleh buku-buku yang terbit di sini yang dianggap berisi pemikiran atau ideologi yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh penguasa, terkait juga dengan apa yang telah dilakukan oleh penguasa yang berdalih melindungi ideologi negara, kehawatiran akan terjadinya penyimpangan-penyimpangan dan atau alasan-alasan lainnya. Seperti dilansir oleh beberapa media, di mana pada 27 Desember 2018 telah terjadi penyitaan buku-buku kiri di Kediri yang ironisnya justru mendapatkan dukungan dari Perpustakaan Nasional.

Tidak seharusnya penguasa memiliki phobia atau ketakutan yang berlebihan terhadap pengaruh yang mungkin muncul dari sebuah buku. Bagaimanapun buku hanya merupakan sebuah pintu untuk masuk ke dalam berbagai khasanah pengetahuan dan pemikiran, tinggal bagaimana si pembaca akan menangkap atau merasa terpengaruh akan isi buku yang dibacanya.

Salah satu tugas pemerintah adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diantaranya adalah membuka akses seluas-luasnya terhadap ilmu pengetahuan yang salah satu caranya adalah melalui pengadaan buku, bukan malah memberangus dan menghancurkannya.

Sebagai renungan bersama, ada baiknya kita membaca sebuah puisi dari penyair Joko Pinurbo tentang peristiwa pemberangusan, penyitaan dan pelarangan beredarnya sebuah buku.



BUKU HANTU

Untuk apa 
kau menyita buku
yang belum/tidak
kamu baca?

Untuk menghormati
hantu tercinta.

(Joko Pinurbo, 2018)
---------------------------------------------------------------------------------------------------

Artikel ini ditulis bersama  dalam rangka10 Kali Tantangan Menulis yang diadakan oleh Kata Hati Kita Production oleh Kelompok 18:

-  Yudhie Yarcho
-  Dewi N. Pemuka
-  Kemuning

----------------------------------------------------------------------------------------------------------
1)https://geotimes.co.id/opini/penyitaan-buku-buku-kiri-di-kediri-dan-wajah-literasi-kita/
2)https://indonesiana.tempo.co/read/76821/2016/06/03/anton.kurnia/memberangus-buku-adalah-kejahatan-kemanusiaan
3)https://news.detik.com/berita/d-3212849/najwa-shihab-bicara-soal-pemberangusan-buku-di-tengah-isu-komunisme