Hampir tiap hari kami harus terjaga sampai larut malam, bahkan hingga
 dini hari untuk menadah air yang mengalir dari pipa PDAM. Aliran yang 
kecil membuat kami harus menampung sedikit demi sedikit dalam jangka 
waktu yang lumayan lama.
Bayangkan, hampir tiap hari begadang. Kebayang kan bagaimana susahnya ketika musim kemarau panjang datang.
Angin
 yang kering, udara yang terasa panas. Rumput, semak, dedaunan berwarna 
coklat. Tanah retak-retak. Bahkan seandainya ada uang koin terjatuh dan 
masuk ke dalam retakan itu, kami harus mencongkel retakan/ rekahan tanah
 itu.
Bahkan pernah, saking parahnya musim kemarau yang melanda, 
untuk kebutuhan mandi dan mencuci kami harus membeli dari penjual air 
keliling. Kemudian air yang untuk masak juga beli dari penjual yang 
lain, karena berasal dari sumber yang berbeda.
Kami tinggal di 
daerah yang masuk dalam wilayah pegunungan kapur. Tanah tempat berpijak 
banyak mengandung kapur, mayoritas berwarna putih dan kekuning-kuningan.
Air
 sumur/ PAM yang kami gunakan untuk masak selalu meninggalkan kerak di 
dasar panci. Sehingga makin lama, panci akan makin tebal dan 
berat.
Kini kami memang sudah tidak mukim lagi di sana. Beberapa waktu lalu kami mendengar ada pembangunan pabrik semen di sekitar
 desa tempat kami tinggal dulu. Lalu saya membayangkan bagaimana keadaan
 ketika proyek itu berjalan.
Truk-truk pengangkut bahan material/ 
galian hilir mudik, menyisakan debu yang makin menambah keruh udara yang
 sudah lama tidak lagi terasa sejuk.
Katanya lagi, lokasi proyek itu berada di pegunungan kapur yang selama ini menjadi tandon air bagi warga.
Salahkah kami jika merasa khawatir akan kehilangan sumber mata air untuk kehidupan kami?
 


