Malam minggu, seperti biasa adalah waktu bagi anggota Genk Lelembut untuk berkumpul dan bercengkrama. Mereka selalu menghabiskan malam yang panjang dengan berbagai macam acara, nyate kelinci, nonton dangdut, minum limun sambil belagak mabuk, dan banyak lagi.
Oh ya, perkenalkan dulu para anggota Genk Lelembut ini. Yang umurnya paling tua adalah Bongod, kemudian berurutan adalah Genter, Buto, Mink, Payman, Bulus, Gayok, Andik, dan Cemplon. Namun dalam kisah ini yang terlibat hanyalah empat nama pertama saja.
Soal nama Genk Lelembut ini adalah pemberian dari mas Kithut, anggota genk El Pramas, plesetan dari nama grup band El Pamas yang artinya adalah "Elek-elek Prapatan Mas". Nama Lelembut diberikan karena para anggotanya dianggap masih "lembut", bau kencur.
***
Sabtu siang, saya dan 3 orang anggota Genk Lelembut sepakat untuk pergi menonton hiburan tayangan video di desa tetangga nanti malam dengan menggunakan dua buah sepeda
Di kampung sebelah ada orang punya hajat, punya kerja, bahasa jawanya "nduwe gawe" menikahkan anaknya dengan nanggap tontonan video yang ditayangkan di layar tivi yang ukurannya agak besar.
Biasanya yang diputar adalah film-filmnya Rhoma Irama, Suzanna, film silat Barry Prima atau film komedi Warkop DKI. Dan, ini yang biasanya paling ditunggu, kalau waktu sudah menuju dini hari di mana para perempuan dan anak-anak sudah terlelap tidur, filmnya akan diganti dengan film yang agak-agak gimana gitu, semi vulgar.
Sehabis maghrib selesai nyetrika saya mengeluarkan sepeda jengki lalu menuju ke titik pertemuan yang telah ditentukan. Saya berboncengan dengan Bongod, Buto boncengan dengan Mink. Pertama-tama saya yang kebagian ngonthel, Bongod mbonceng. Sesampai di daerah Gersapi kami bertukar posisi.
Kami berempat mengayuh sepeda penuh semangat, malam yang gelap tidak menjadi halangan. Bahkan meski harus melalui jalur keramat, jalur gawat.
Ketika sampai di jalan yang turunannya agak curam, dan tepat berada di daerah keramat, saya berkata kepada Bongod yang ada di posisi depan, "Katanya di sini ada kuburan mbah Kartosuwiryo ya?". Bongod langsung nyahut, "Hush, diam saja. Gak usah ngrasani. Nanti kualat kita!". Saya kemudian terdiam, sementara Buto dan Mink sudah melaju jauh di depan.
Akhirnya tibalah perjalanan di jalan yang menurun tajam, di gelapnya malam sepeda yang dikayuh Bongod lama-lama oleng. Dengan kecepatan tinggi sepeda melaju turun ke bawah, hampir sampai di jalan yang landai tiba-tiba, brakkkk gubrakkk!!!
Bongod terjatuh terhimpit sepeda dengan luka memar di wajah , sementara saya luka memar di kaki dan pantat.
Kami putuskan tidak jadi melanjutkan perjalanan, kami balik kanan: pulang. Setelah diobati sebisanya, saya pulang ke rumah. Sepeda saya parkirkan, langsung saya mapan: tidur dengan sekujur tubuh njarem semua kemulan sarung biar tidak konangan sama Bapak dan Ibu.
Pagi-pagi saya tetap bertugas untuk nyapu halaman dengan kaki terpincang-pincang, Ibu melihat tapi hanya diam saja. Sementara itu, Bongod pergi ke Balai Desa: untuk foto ktp dengan wajah memar seperti habis gelut dikeroyok preman se terminal!
***
No comments:
Post a Comment