Penjual Cilok Barokah Tasikmalaya |
Di halaman pasar pagi, kalau sore berubah dari tempat parkir menjadi
arena permainan anak-anak. Di atas trotoar, sudah penuh penjual pakaian. Tempat
itu selalu ramai oleh pengunjung. Karena selain ada berbagai macam arena
permainan, di sana juga ada deretan warung tenda kuliner, penjual siomay, bakso
tusuk (kalau dalam bahasa kami biasa menyebutnya sate ojek), batagor, es kacang
hijau, jagung bakar atau rebus, hanyalah sebagian dari ragam jenis makanan yang
kami konsumsi hampir setiap kali kami jajan.
Di tempat lain selain halaman pasar pagi pun demikian. Misalnya, di
sekitar lapangan sepakbola, pertigaan, halaman toko swalayan, dan tempat
lainnya. Berbagai jenis makanan ringan serta minuman biasa kami telan tanpa
pikir panjang. Tak peduli cuaca terik panas membakar atau hujan deras
menerjang, kebiasaan njajan berbagai makanan tersebut tak bisa kami tinggalkan
begitu saja.
Kebiasaan itu sudah menjadi candu, mendarah daging. Kami tak bisa
membayangkan apa yang akan kami lakukan tanpa ritual tersebut.
Kegiatan yang berawal dari kebiasaan, kemudian menjadi ritual wajib
yang selalu harus kami lakukan. Tak peduli habis gajian atau tanggal habis
bulan, sama saja. Kami rela tidak membeli pakaian asalkan ritual
tersebut tetap dapat kami jalankan.
Bertahun-tahun sudah ritual itu kami lakukan,
bahkan sudah sejak dari para pendahulu kami sebelumnya. Hingga anak keturunan
kami akhirnya melanjutkan tradisi ritual njajan tersebut, tentunya dengan
pilihan jenis makanan yang semakin bertambah.
Lalu tibalah waktu yang kami takutkan akan
terjadi. Kami tak lagi bisa leluasa menjalankan ritual jajan kami seperti
biasa.
Semenjak kedatangan pasukan itu, kami merasa seperti terintimidasi. Kami
merasa diawasi, merasa dibatasi. Jenis-jenis jajanan yang biasa kami nikmati
sekarang ini seperti sudah tidak punya daya tarik lagi. Rasanya tawar,
pesonanya hambar.
Serangan yang begitu frontal dan menusuk langsung ke pusat kehidupan
kami, begitu menyedot seluruh perhatian dan keinginan kami. Pasukan itu begitu
fasih memainkan segala strategi yang dengan segera mampu meluluhlantakkan
segala pertahanan kami.
Semua orang, termasuk kami, tiba-tiba berpaling dari semua jajanan yang
sebelumnya kami nikmati. Semua dengan sukarela atau terpaksa harus mau
mengonsumsi jajanan jenis baru yang dibawa oleh pasukan itu. Seperti ada aturan
yang menyeragamkan kami. Kami seperti robot yang dengan patuh menurut perintah
dari pasukan itu.
Semua berubah sejak pasukan itu menyerang. Kami
harus sembunyi, jika ingin menjalankan ritual yang telah biasa kami lakukan. Entah sampai kapan hal ini
akan terjadi.
No comments:
Post a Comment