heteroculture: Semua Berubah Sejak Pasukan Cilok Barokah Menyerang IBX583E46ECC8CCF

Jan 15, 2017

Semua Berubah Sejak Pasukan Cilok Barokah Menyerang


Penjual Cilok Barokah Tasikmalaya

Di halaman pasar pagi, kalau sore berubah dari tempat parkir menjadi arena permainan anak-anak. Di atas trotoar, sudah penuh penjual pakaian. Tempat itu selalu ramai oleh pengunjung. Karena selain ada berbagai macam arena permainan, di sana juga ada deretan warung tenda kuliner, penjual siomay, bakso tusuk (kalau dalam bahasa kami biasa menyebutnya sate ojek), batagor, es kacang hijau, jagung bakar atau rebus, hanyalah sebagian dari ragam jenis makanan yang kami konsumsi hampir setiap kali kami jajan.

Di tempat lain selain halaman pasar pagi pun demikian. Misalnya, di sekitar lapangan sepakbola, pertigaan, halaman toko swalayan, dan tempat lainnya. Berbagai jenis makanan ringan serta minuman biasa kami telan tanpa pikir panjang. Tak peduli cuaca terik panas membakar atau hujan deras menerjang, kebiasaan njajan berbagai makanan tersebut tak bisa kami tinggalkan begitu saja. 

Kebiasaan itu sudah menjadi candu, mendarah daging. Kami tak bisa membayangkan apa yang akan kami lakukan tanpa ritual tersebut. 


Kegiatan yang berawal dari kebiasaan, kemudian menjadi ritual wajib yang selalu harus kami lakukan. Tak peduli habis gajian atau tanggal habis bulan, sama saja. Kami rela tidak membeli pakaian asalkan ritual tersebut tetap dapat kami jalankan. 

Bertahun-tahun sudah ritual itu kami lakukan, bahkan sudah sejak dari para pendahulu kami sebelumnya. Hingga anak keturunan kami akhirnya melanjutkan tradisi ritual njajan tersebut, tentunya dengan pilihan jenis makanan yang semakin bertambah. 

Lalu tibalah waktu yang kami takutkan akan terjadi. Kami tak lagi bisa leluasa menjalankan ritual jajan kami seperti biasa. 

Semenjak kedatangan pasukan itu, kami merasa seperti terintimidasi. Kami merasa diawasi, merasa dibatasi. Jenis-jenis jajanan yang biasa kami nikmati sekarang ini seperti sudah tidak punya daya tarik lagi. Rasanya tawar, pesonanya hambar.

Serangan yang begitu frontal dan menusuk langsung ke pusat kehidupan kami, begitu menyedot seluruh perhatian dan keinginan kami. Pasukan itu begitu fasih memainkan segala strategi yang dengan segera mampu meluluhlantakkan segala pertahanan kami. 

Semua orang, termasuk kami, tiba-tiba berpaling dari semua jajanan yang sebelumnya kami nikmati. Semua dengan sukarela atau terpaksa harus mau mengonsumsi jajanan jenis baru yang dibawa oleh pasukan itu. Seperti ada aturan yang menyeragamkan kami. Kami seperti robot yang dengan patuh menurut perintah dari pasukan itu. 

Semua berubah sejak pasukan itu menyerang. Kami harus sembunyi, jika ingin menjalankan ritual yang telah biasa kami lakukan. Entah sampai kapan hal ini akan terjadi.

No comments:

Post a Comment