Saya
tak ingat lagi kapan tepatnya, saat saya sempat "bersitegang" dengan
bapak di rumah gara-gara sepakbola. Kok bisa? Ya, bisa saja.
Waktu
itu timnas Indonesia sedang bertanding melawan Jepang, salah satu pemain yang
masih saya ingat adalah Ricky Yakob sebagai salah seorang penyerangnya. Lalu
apa yang membuat bersitegang?
Saya
berpendapat bahwa kita harus tetap optimis bahwa kita bisa mengimbangi
kesebelasan Jepang, tapi bapak bilang bahwa kita harus realistis dengan
kemampuan kita. Sampai-sampai saya bawa-bawa soal nasionalisme segala,
sementara bapak hanya terkekeh saja.
Beberapa
hari lalu euphoria kembali menyeruak, yaitu ketika Rio Haryanto, menjadi
satu-satunya pembalap dari Indonesia yang bisa membalap di lintasan F1, bahkan
satu-satunya pembalap dari Asia.
Banyak
dukungan dan simpati yang diberikan kepada Rio, tapi tak sedikit pula cibiran
yang melayang kepadanya. Wajar, hidup di dunia penuh dengan banyak orang tentu
banyak pula resiko yang harus dihadapi. Realistis adalah ketika kita berharap
Rio bisa membalap sebaik-baiknya dan tentunya bisa mengukir prestasi di tim
"kecil" yang dibelanya.
Sekian
tahun ada balapan F1 saya hanya melirik sekilas saja, tapi ketika kemarin F1
disiarkan, bahkan saya merasakan antusias yang cukup besar. Apakah ini karena
ada orang Indonesia yang ikut membalap? Entah.
Sudah
lama saya tidak merasakan gairah seperti ketika Hendrawan menjadi penentu
kemenangan tim bulutangkis (suer, ketika itu mata saya bahkan berkaca-kaca mau
nangis), atau ketika mendengar nama Ellyas Pical disebut oleh ring announcer
sebagai juara dunia tinju kelas bantan versi IBF.
Yah,
sudahlah.