foto @Najih_HK |
Di kampung saya di suatu daerah di pantai Utara Jawa Tengah setiap 7 hari setelah hari raya Idul Fitri ada hari raya lagi, namanya lebaran ketupat atau bakda kupat atau kupatan.
Disebut kupatan karena pada hari itu hidangan yang disajikan di masing-masing rumah adalah ketupat (bukan nasi, seperti biasanya), dengan lauk berupa varian masakan dari ayam atau itik yang bisa berbentuk opor atau dibumbu yang selainnya.
Ini berbeda dengan hari raya di rumah nenek saya di Semarang, yang mana di sana ketupat muncul justru tepat di saat hari raya Idul Fitri.
Pada waktu kupatan, di mushola kampung diadakan kenduri atau selamatan dengan maksud sebagai ucapan syukur kepada rahmat Allah yang telah dilimpahkan kepada kita semua, juga sekaligus sebagai ajang untuk mengirimkan doa buat para leluhur yang telah mendahului.
Di acara selamatan itu pak ustad akan memberikan sedikit ceramah yang tentunya berkaitan atau berhubungan dengan kupatan.
Kata pak ustad, "Kenapa disuguhkan kupat lepet, artinya adalah pada waktu Idul Fitri kita (me)ngaKU lePAT ~mengakui kesalahan kita~ sehingga kita bermaaf-maafan, dan setelah bermaaf-maafan maka sebaiknya kesalahan yang sudah lalu itu disimpan yang rapat tidak usah diungkit lagi, istilahnya diLEP yang rapET."
"Kalaupun ada yang menyuguhkan Lonthong, bukan kupat, ya gak masalah, itu bisa diartikan bahwa setelah Idul Fitri sebaiknya yang "oLO-olo" (olo/ala artinya jelek/buruk) dadi "koTHONG" alias kosong.", sambung pak ustad.
"Lalu bagaimana jika tidak menyuguhkan kupat tapi Sego? Ya gak masalah juga, Sego bisa diartikan bahwa setelah Idul Fitri yang semula terasa ada ganjalan yang bikin seSEG bisa menjadi LeGO!", pungkas pak ustad disambut senyuman para jamaah.
Setelah ritual selesai, dilanjutkan dengan makan bersama di mushola. Ini bisa jadi berbeda di masing-masing daerah, seperti misal di kampung saya yang dulu tidak ada acara makan bersama di mushola tapi berkatnya dibawa pulang.
Bagaimana di tempat kalian?
***
Ayo, Lihat Ngapain!
Dulu sewaktu saya masih sekolah di sekitaran pertengahan era 90an, pada waktu kupatan setelah acara di mushola selesai biasanya saya dan teman-teman kongkow bareng-bareng di perempatan, di mana tempat tersebut menjadi pemberhentian kendaraan angkutan umum yang banyak mengangkut orang-orang yang akan merayakan kupatan dengan pergi ke pantai untuk lomban.
Biasanya di waktu kupatan ada keramaian besar-besaran berupa hiburan di pantai, ada dangdutnya ada dermolennya ada jualan macam-macam barang dan jajanan.
Tujuan saya dan teman-teman kongkow di perempatan bukan bermaksud untuk ikut pergi ke pantai, tapi kami hanya ingin melihat orang-orang yang pergi ke pantai itu.
Di waktu itu kami bisa melihat berbagai macam gaya berpakaian dan dandanan, maupun berbagai macam lagak dan gaya bicara. Karena kebanyakan orang-orang itu adalah para perantau yang baru mudik dari tempat mereka bekerja, sehingga kami bisa mendengar celotehan campur baur antara mereka yang merantau di Surabaya dengan dialek Jawa Timuran berpadu dengan yang baru mudik dari Jakarta. Antara "Yok opo" dengan "Ngapain".
Bisa dibayangkan, kan?
***